Kelas Tiga Puluh, Part 5 "Bayangan dari Masa Lalu"


 

Amnan dan Kelas Rahasia Ilmu Pengetahuan: Part 5

"Bayangan dari Masa Lalu"

Keesokan malamnya, suasana ruang lab terasa berbeda. Udara lebih dingin dari biasanya, dan bayangan lilin di dinding tampak bergerak seolah hidup. Amnan, Faiz, dan Tono duduk di bangku panjang sambil menunggu instruksi dari Profesor Arkan.

“Tadi malam, kalian belajar mengendalikan ketakutan kalian,” Profesor Arkan membuka pembicaraan. “Namun, ada satu hal yang lebih sulit dari sekadar mengendalikan ketakutan, yaitu menghadapi bayangan masa lalu kalian.”

Amnan mengernyitkan dahi. “Masa lalu? Maksudnya apa, Pak?”

Profesor Arkan menatapnya tajam. “Setiap orang membawa beban dari masa lalu—kesalahan, kehilangan, rasa bersalah, bahkan kenangan yang seolah tidak pernah selesai. Bayangan itu tidak akan pernah hilang sampai kalian belajar untuk menghadapinya.”

Di atas meja besar, kini terdapat tiga bola kaca berbeda. Masing-masing bola memiliki warna yang unik—merah, biru, dan hitam pekat seperti malam tanpa bintang.

“Kalian akan memilih satu bola ini, dan masing-masing akan membawa kalian ke kenangan tertentu dari masa lalu kalian. Di sana, kalian harus menghadapi apa pun yang muncul. Jangan lari, jangan melawan. Pelajari apa yang bisa kalian dapatkan dari pengalaman itu.”


Amnan dan Bola Merah

Amnan merasa tertarik pada bola merah yang tampak menyala seperti api. Begitu tangannya menyentuh permukaannya, dia merasa tubuhnya ditarik ke suatu tempat. Ketika dia membuka matanya, dia berdiri di halaman sekolah lamanya. Namun, ada yang aneh—semua orang tampak lebih kecil, termasuk dirinya sendiri.

“Itu aku?” gumam Amnan sambil melihat seorang anak lelaki yang duduk di bawah pohon besar, memegang buku pelajaran sambil menangis pelan.

Dia mendekat dan mengenali dirinya yang lebih muda, mungkin saat masih kelas 5 SD. Amnan kecil terlihat frustrasi, membolak-balik halaman buku tetapi tidak memahami apa pun.

“Aku ingat ini,” katanya pelan. “Ini hari di mana aku gagal ujian besar…”

Seorang anak lelaki lain mendekat, dengan tatapan mengejek. “Dasar bodoh! Cuma soal kayak gini aja nggak bisa!” ejeknya. Amnan kecil menundukkan kepala, tidak mampu melawan.

Amnan dewasa ingin maju untuk membela dirinya yang lebih muda, tetapi suara Profesor Arkan bergema di kepalanya: “Jangan melawan. Pelajari.”

Dia hanya berdiri di sana, menyaksikan adegan itu berlangsung. Dia merasa perih di hatinya, tetapi untuk pertama kalinya, dia tidak merasa malu. “Aku memang gagal waktu itu,” katanya pelan. “Tapi aku belajar dari kegagalan itu. Aku jadi lebih rajin, lebih tekun.”

Bayangan itu perlahan memudar, meninggalkan Amnan sendirian di halaman sekolah. Namun kali ini, dia merasa lebih ringan, seolah beban yang sudah lama dia bawa akhirnya terangkat.


Faiz dan Bola Biru

Faiz memilih bola biru yang berkilauan seperti air. Ketika dia menyentuhnya, dia merasakan tubuhnya tenggelam, seperti masuk ke dalam lautan yang dalam. Saat dia membuka matanya, dia berada di sebuah ruang tamu kecil yang tampak sangat familier.

Dia melihat dirinya yang lebih muda duduk di sofa, menatap sebuah hadiah ulang tahun yang masih terbungkus rapi. Wajahnya tampak penuh harap.

“Oh tidak…” gumam Faiz, mengingat kejadian itu dengan jelas.

Pintu depan terbuka, dan seorang pria masuk dengan langkah terburu-buru—ayah Faiz. Dia tampak lelah dan tidak memedulikan Faiz kecil yang menyodorkan hadiah itu kepadanya.

“Pak, ini buat Bapak!” suara Faiz kecil terdengar riang, tetapi ayahnya hanya melambaikan tangan. “Nanti saja, Faiz. Bapak sibuk.”

Faiz kecil menunduk kecewa, meletakkan hadiah itu di meja dan berjalan ke kamarnya. Faiz dewasa ingin memanggil ayahnya, tetapi dia tahu itu sia-sia.

“Aku nggak pernah benar-benar bicara sama Bapak setelah itu,” katanya pelan, menyadari rasa sakit yang selama ini dia simpan. “Aku selalu merasa nggak cukup baik.”

Tapi kemudian, dia ingat sesuatu. Setelah kejadian itu, ayahnya pernah meminta maaf, meskipun sudah terlambat. “Dia juga manusia. Dia punya beban sendiri,” kata Faiz, suaranya terdengar lebih mantap.

Ruang tamu itu perlahan memudar, meninggalkan Faiz dengan perasaan yang lebih damai.


Tono dan Bola Hitam

Tono dengan enggan memilih bola hitam. Begitu dia menyentuhnya, semuanya menjadi gelap. Dia berdiri di tengah hutan lebat, dengan suara ranting patah dan angin kencang di sekelilingnya.

“Halo?” panggil Tono, merasa cemas.

Dia melihat dirinya yang lebih muda berdiri di tengah hutan, memeluk lutut dan menangis. Saat itu, Tono kecil sedang tersesat selama perjalanan camping sekolah.

“Ini malam itu,” gumam Tono. “Malam ketika aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli.”

Dia menyaksikan Tono kecil menangis, tetapi kali ini, dia melihat sesuatu yang berbeda. Dia melihat bayangan kecil dari teman-temannya yang mencari di kejauhan, memanggil namanya.

“Mereka mencariku,” katanya pelan. “Aku pikir aku sendirian, tapi aku salah.”

Tono dewasa berjalan mendekati dirinya yang lebih muda, ingin berkata sesuatu tetapi tahu itu mustahil. Namun, hanya dengan mengingat bahwa dia tidak benar-benar sendirian, rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan memudar.


Kembali ke Ruang Lab

Ketiganya kembali dengan perasaan yang campur aduk. Profesor Arkan memandang mereka dengan tatapan puas.

“Kalian telah menghadapi bayangan dari masa lalu kalian. Itu tidak mudah, tetapi kalian berhasil.”

Amnan mengangguk. “Aku merasa seperti… aku meninggalkan sesuatu yang berat di belakang.”

“Karena itulah latihan ini penting,” kata Profesor Arkan. “Kalian tidak bisa maju jika terus membawa beban yang tidak perlu. Sekarang, kalian lebih siap untuk menghadapi tantangan yang sebenarnya.”

“Lebih siap untuk apa?” tanya Tono.

Profesor Arkan hanya tersenyum. “Kalian akan segera tahu.”

(Bersambung ke Part 6: "Rahasia di Balik Bola Kristal")

Kelas Tiga Puluh, Part 4 "Mengendalikan Ketakutan"


 

Amnan dan Kelas Rahasia Ilmu Pengetahuan: Part 4

"Mengendalikan Ketakutan"

Setelah bola kristal memancarkan cahayanya, ruangan terasa lebih hangat. Ketegangan yang menggantung sejak mereka melewati ujian pertama perlahan menghilang. Amnan, Faiz, dan Tono saling pandang, mencoba memahami apa yang baru saja mereka alami.

Profesor Arkan berjalan ke meja kayu besar di tengah ruangan, meletakkan bola kristal di atasnya, dan menatap mereka dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Sekarang kalian telah menghadapi ketakutan terbesar kalian, langkah berikutnya adalah belajar mengendalikannya,” katanya sambil membuka buku besar bersampul kulit yang sebelumnya dia gunakan. Halaman-halaman buku itu kini penuh dengan simbol dan tulisan yang seolah hidup, bergerak perlahan seperti aliran air.

“Ketakutan,” lanjut Profesor Arkan, “bukan sesuatu yang harus kalian musuhi. Ia adalah alat, seperti pisau. Jika digunakan dengan benar, ia bisa menjadi senjata yang kuat. Jika tidak, ia akan melukai kalian sendiri.”

Faiz mengangkat tangan dengan ragu. “Jadi, maksudnya, kita harus… berteman dengan rasa takut?”

“Bukan berteman,” jawab Profesor Arkan. “Kalian harus menguasainya. Kalian harus membuatnya bekerja untuk kalian, bukan melawan kalian.”


Pelatihan Dimulai

Profesor Arkan memimpin mereka ke sisi ruangan di mana terdapat tiga meja kecil, masing-masing dengan sebuah benda yang tampak biasa: lilin, cermin bundar kecil, dan sekotak pasir hitam.

“Masing-masing dari kalian akan berlatih dengan benda ini,” jelasnya. “Lilin ini akan membantu kalian menghadapi kegelapan di hati kalian. Cermin akan menunjukkan kalian siapa diri kalian sebenarnya. Dan pasir hitam…” Dia berhenti sejenak, menatap benda itu dengan pandangan serius. “…akan menguji seberapa jauh kalian mampu mengendalikan pikiran kalian.”

Tono, yang biasanya menghindari tantangan, mencoba menyelinap ke belakang Faiz. “Eh, mungkin aku cuma bantu Amnan dulu. Aku nggak yakin aku cocok untuk ini.”

“Tidak ada yang bisa membantu kalian,” kata Profesor Arkan tegas. “Ini perjalanan pribadi.”


Amnan dan Lilin Kegelapan

Amnan diberi lilin kecil dan disuruh duduk di tengah ruangan yang sekarang gelap gulita. Hanya nyala lilin itu yang menjadi satu-satunya sumber cahaya.

“Konsentrasi pada nyala api,” kata Profesor Arkan. “Bayangkan bahwa api itu adalah hatimu. Lihat bagaimana ia berkedip. Ia bisa padam kapan saja, tetapi juga bisa menyala lebih besar. Apa yang membuatnya stabil adalah keyakinanmu.”

Awalnya, Amnan merasa mudah. Dia memandangi api itu dengan penuh perhatian. Tapi perlahan, suara-suara mulai muncul dari kegelapan. Suara tawa, bisikan, bahkan tangisan.

“Kamu akan gagal…”

“Kamu tidak cukup kuat…”

“Untuk apa kamu melakukannya?”

Suara-suara itu semakin keras, membuat tangan Amnan gemetar. Nyala lilin mulai mengecil, hampir padam.

“Fokus,” kata Profesor Arkan. “Ketakutanmu adalah angin yang menggoyangkan api itu. Jangan biarkan ia menguasai.”

Amnan menutup matanya, menarik napas dalam, dan membayangkan lilin itu menyala dengan tenang. Dia mendengar suaranya sendiri, bukan suara bisikan gelap, berkata, “Aku bisa melakukannya.”

Ketika dia membuka mata, api itu kembali stabil, bahkan tampak lebih terang dari sebelumnya.


Faiz dan Cermin Diri

Faiz duduk di depan cermin bundar kecil. Profesor Arkan hanya berkata satu hal sebelum meninggalkannya sendiri: “Lihatlah dirimu sampai kau mengenali siapa yang sebenarnya ada di sana.”

Awalnya, Faiz hanya melihat wajahnya sendiri. Tapi semakin lama dia menatap, bayangannya di cermin mulai berubah. Wajah itu tampak lebih tua, lebih serius, dan penuh dengan rasa duka yang tidak pernah dia sadari.

“Kamu hanya badut,” kata bayangan itu, suaranya berat dan dingin. “Kamu hanya membuat orang tertawa untuk menyembunyikan betapa kosongnya dirimu.”

“Tidak,” bisik Faiz, meskipun dia tahu bayangan itu benar.

“Kamu takut sendirian. Dan karena itulah kamu selalu mencari perhatian. Tapi di saat orang-orang meninggalkanmu, kamu tidak punya siapa-siapa, bukan?”

Faiz ingin membanting cermin itu, tetapi tangannya berhenti di udara. Alih-alih marah, dia menatap bayangan itu dan berkata, “Kamu benar. Aku memang takut. Tapi aku juga tahu aku bisa berubah. Aku bisa menjadi lebih baik.”

Bayangan itu tersenyum, tetapi kali ini hangat, seperti memberikan restu. Cermin itu kembali memantulkan wajah Faiz yang sebenarnya.


Tono dan Pasir Hitam

Tono menghadapi kotak pasir hitam dengan penuh keraguan. “Ini apa sih? Mainan anak-anak?”

“Pasir ini akan mencerminkan pikiranmu,” kata Profesor Arkan. “Semakin kacau pikiranmu, semakin sulit pasir ini untuk kau kendalikan.”

Tono diberi instruksi untuk memegang segenggam pasir dan membentuknya menjadi sesuatu yang dia inginkan. “Cukup pikirkan bentuknya, dan pasir akan menuruti pikiranmu.”

Dia mencobanya, tetapi pasir itu malah jatuh dari tangannya, seperti air yang mengalir. Semakin dia mencoba, semakin berantakan pasir itu.

“Fokus,” kata Profesor Arkan dari kejauhan.

“Aku fokus!” jawab Tono dengan frustrasi. Tapi sebenarnya, pikirannya dipenuhi dengan rasa takut. Dia mengingat jurang itu, angin dingin, dan rasa panik yang hampir membuatnya menyerah.

Akhirnya, dia berhenti mencoba dan menutup matanya. Dia menarik napas dalam dan mencoba membayangkan pasir itu menjadi batu kecil yang keras. Ketika dia membuka matanya, pasir di tangannya berubah, memadat menjadi batu seperti yang dia inginkan.


Ketika pelatihan selesai, mereka kembali berkumpul di tengah ruangan. Wajah mereka terlihat lelah tetapi puas.

“Bagus,” kata Profesor Arkan. “Kalian sudah mengambil langkah besar hari ini. Kalian telah belajar bahwa ketakutan bukanlah musuh. Ia adalah bagian dari diri kalian yang harus kalian pahami dan kendalikan.”

Amnan, Faiz, dan Tono saling pandang dan tersenyum. Untuk pertama kalinya, mereka merasa tidak hanya lebih kuat, tetapi juga lebih percaya diri.

“Tapi ini belum akhir,” tambah Profesor Arkan. Dia berjalan ke arah bola kristal yang kini bersinar terang. “Ini hanya awal dari perjalanan yang jauh lebih besar. Besok malam, kita akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya.”

(Bersambung ke Part 5: "Bayangan dari Masa Lalu")

Kelas Tiga Puluh, Part 3


 

Amnan dan Kelas Rahasia Ilmu Pengetahuan: Part 3

Amnan berdiri di tengah kegelapan yang pekat. Udara di sekitarnya terasa dingin dan berat, seperti selimut basah yang menekan dadanya. Tidak ada suara, tidak ada cahaya, hanya keheningan yang membuatnya merasa terperangkap.

“Di mana aku?” gumamnya, mencoba memastikan bahwa dia masih bisa mendengar suaranya sendiri.

Tiba-tiba, sebuah cahaya kecil muncul di kejauhan. Cahaya itu seperti lilin yang berkelap-kelip, menarik Amnan untuk mendekat. Namun, setiap langkah yang dia ambil seolah tidak membawa perubahan. Jarak ke cahaya itu tetap sama—selalu berada di ujung pandangannya.

“Amnan!” terdengar suara Faiz memanggil.

Amnan berbalik, tetapi tidak ada siapa pun. “Faiz? Tono? Kalian di mana?”

Hanya keheningan yang menjawab.


Di sisi lain, Faiz membuka matanya dan mendapati dirinya berada di tempat yang sama sekali berbeda. Dia berdiri di sebuah ruangan kosong yang dipenuhi cermin. Setiap cermin memantulkan bayangannya, tetapi tidak seperti biasanya. Bayangan di cermin tidak mengikuti gerakannya.

“Hmm, oke… ini aneh,” katanya sambil melambaikan tangan. Bayangan di cermin tetap diam, menatapnya dengan tatapan yang lebih tajam dari yang dia harapkan.

Faiz mencoba menghindar, tetapi cermin-cermin itu mulai bergerak, membentuk lingkaran yang semakin menyempit di sekelilingnya. Salah satu bayangan di cermin berbicara, suaranya dingin dan menusuk.

“Kesepian, ya? Itu ketakutanmu.”

Faiz menelan ludah. “Aku nggak takut… oke, mungkin sedikit, tapi siapa yang nggak takut sendirian?”

Bayangan itu tersenyum, tetapi senyumnya aneh, hampir seperti ejekan. “Kalau begitu, buktikan. Kalau kamu benar-benar tidak takut, coba bertahan di sini… sendirian.”

Ruangan itu tiba-tiba menjadi gelap, hanya menyisakan suara detak jantung Faiz yang semakin cepat.


Sementara itu, Tono menemukan dirinya berdiri di tepi sebuah jurang yang sangat tinggi. Di bawahnya, hanya ada kabut tebal yang menyembunyikan dasar jurang. Udara di sekitarnya dingin dan berhembus kencang, membuatnya sulit untuk berdiri tegak.

“Kenapa harus ketinggian…” gumam Tono sambil merosot ke tanah, tangannya gemetar.

Di seberang jurang, ada sebuah jembatan kayu yang sempit dan terlihat rapuh. Jembatan itu adalah satu-satunya cara untuk menyeberang ke sisi lain, di mana sebuah pintu bercahaya berdiri, memancarkan cahaya hangat yang mengundang.

“Kalau kamu nggak lewat jembatan itu, kamu akan terjebak di sini selamanya.” Suara itu datang dari seekor burung hitam besar yang tiba-tiba muncul di depannya. Burung itu memiliki mata yang bersinar seperti bara api.

“Aku nggak bisa,” kata Tono, mencoba menghindari tatapan burung itu.

“Kalau begitu, nikmati waktumu di sini. Sendiri. Takut. Dan terperangkap.” Burung itu terbang pergi, meninggalkan Tono dengan perasaan panik.


Amnan terus berjalan, mencoba mendekati cahaya yang sepertinya tidak pernah terjangkau. Namun, sesuatu berubah. Suara langkah kaki lain mulai terdengar di belakangnya, berat dan pelan, seperti seseorang yang sengaja mengikuti.

“Siapa di sana?” Amnan berteriak, tetapi tidak ada jawaban.

Langkah kaki itu semakin mendekat, dan tiba-tiba, sebuah sosok besar muncul dari kegelapan. Wajahnya samar, seperti bayangan kabur, tetapi tubuhnya terlihat seperti bayangan raksasa.

“Kamu takut pada hal yang tidak pasti,” suara itu bergema di seluruh ruangan. “Karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”

“Aku tidak takut!” Amnan berteriak, mencoba terdengar meyakinkan meskipun tangannya gemetar.

Bayangan itu mendekat, dan setiap langkahnya membuat tanah di sekitar Amnan berguncang. “Kalau begitu, buktikan. Ambil langkah tanpa tahu di mana kau akan berpijak.”

Tanah di sekitar Amnan mulai runtuh, meninggalkannya berdiri di sebuah platform kecil. Satu-satunya jalan keluar adalah melompat ke kegelapan di depannya. Tidak ada pijakan yang terlihat, hanya ruang kosong yang gelap.

“Percaya pada dirimu sendiri,” gumam Amnan, mencoba meyakinkan dirinya. “Aku harus melakukannya.”

Dia menutup matanya dan melompat.


Di ruangan Faiz, suara detaknya semakin keras, hingga dia tidak tahan lagi. “Oke, aku paham! Aku takut sendirian. Tapi itu bukan berarti aku nggak bisa melawan!”

Cermin-cermin itu tiba-tiba berhenti bergerak. Bayangan-bayangan di dalamnya menghilang satu per satu, meninggalkan Faiz sendiri di tengah ruangan kosong. Namun kali ini, dia tidak merasa takut. Dia merasa lebih kuat, seolah telah menerima sesuatu yang baru dalam dirinya.


Tono berdiri di tepi jurang, tatapannya terpaku pada jembatan kayu. Angin semakin kencang, hampir mendorongnya jatuh. Tetapi kemudian, dia mengingat kata-kata Profesor Arkan.

“Keberanian bukan berarti tidak takut. Keberanian adalah bertindak meskipun takut.”

Dengan napas tertahan, Tono melangkah ke jembatan. Kayu itu berderit di bawah berat tubuhnya, tetapi dia terus berjalan, tidak mempedulikan angin atau rasa takut yang terus menghantuinya.

Setiap langkah terasa seperti perjuangan, tetapi dia akhirnya sampai di pintu bercahaya. Ketika dia menyentuhnya, cahaya itu menyelimuti tubuhnya, dan dia merasa seperti ditarik kembali.


Amnan, Faiz, dan Tono terbangun di ruang lab tua. Profesor Arkan berdiri di depan mereka, tersenyum tipis. “Kalian berhasil melalui ujian pertama. Tapi ini baru permulaan.”

Faiz langsung berdiri dan menunjuk ke Profesor Arkan. “Baru permulaan? Ini kayak mimpi buruk, tahu nggak?”

Profesor Arkan tertawa pelan. “Mimpi buruk adalah bagian dari pembelajaran. Kalian bertiga baru saja menghadapi ketakutan terbesar kalian. Sekarang, kalian lebih kuat.”

Amnan menatap kedua temannya, lalu menatap Profesor Arkan. “Apa selanjutnya?”

Profesor Arkan tidak menjawab langsung. Sebaliknya, dia mengambil bola kristal yang tadi digunakan dan memegangnya tinggi-tinggi. Bola itu bersinar lebih terang dari sebelumnya, memancarkan cahaya ke seluruh ruangan.

“Selanjutnya,” katanya, “kita akan mempelajari apa yang terjadi ketika kalian tidak hanya menghadapi ketakutan kalian, tetapi juga belajar untuk mengendalikannya.”

(Bersambung ke Part 4)

Kelas Tiga Puluh, Part 2


 

Amnan dan Kelas Rahasia Ilmu Pengetahuan: Part 2

Pintu ruang lab tua itu terbuka dengan suara derit yang panjang, seolah sudah bertahun-tahun tidak disentuh. Amnan melangkah masuk dengan hati-hati, diikuti oleh Faiz yang menempel seperti bayangan dan Tono yang terlihat menyesal telah ikut dari awal.

Ruangannya gelap, hanya diterangi oleh sebuah lampu minyak di meja kayu tua yang sudah kusam. Dinding-dinding dipenuhi rak buku yang hampir runtuh karena bobot buku-buku tua, dengan sampul yang sudah memudar dan berbau seperti debu. Di tengah ruangan berdiri pria tua berwajah tegas yang tadi menyapa mereka. Dia mengenakan jubah panjang berwarna hitam dengan bordiran emas berbentuk simbol-simbol aneh yang tak mereka kenali.

“Kalian terlambat,” katanya tanpa basa-basi. Suaranya rendah, tetapi cukup keras untuk membuat Faiz tersentak.

“Terlambat untuk apa, Pak?” Amnan bertanya, mencoba terlihat tenang meskipun tangannya berkeringat dingin.

Pria itu menatap mereka satu per satu, seolah menilai sesuatu yang tidak mereka pahami. “Kalian sudah memilih untuk datang ke sini. Itu berarti kalian cukup berani, atau cukup bodoh.” Dia berhenti sejenak, lalu menunjuk ke tiga kursi kayu di depan meja. “Duduk.”

Tono, yang biasanya paling banyak alasan, langsung duduk pertama, diikuti oleh Amnan dan Faiz. Mereka bertiga menatap pria itu dengan perasaan campur aduk antara ketakutan dan penasaran.

“Perkenalkan, aku adalah Profesor Arkan.”

Faiz, yang sudah hampir meledak karena rasa gugup, mengangkat tangan. “Maaf, Prof. Tapi, kok ruangannya seperti laboratorium milik nenek moyang kita? Apa di sini ada listrik?”

Profesor Arkan mendengus. “Ini bukan laboratorium biasa. Di sini, kita tidak membutuhkan listrik. Sebaliknya, kita akan menggunakan sumber daya yang lebih kuat.”

Dia mengeluarkan sebuah bola kristal kecil dari kantong jubahnya dan meletakkannya di meja. Cahaya biru lembut keluar dari bola itu, menerangi ruangan dengan nuansa magis. Tono hampir jatuh dari kursinya, sementara Faiz mengeluarkan gumaman kagum.

“Apa itu?” Amnan bertanya, matanya terpaku pada bola kristal.

“Ini adalah pengukur keberanian,” jawab Profesor Arkan. “Jika kalian benar-benar ingin melanjutkan kelas ini, kalian harus menyentuh bola ini. Tapi hati-hati, jika kalian tidak cukup berani, bola ini akan memantulkan ketakutan kalian kembali ke dalam hati kalian.”

Faiz tertawa gugup. “Ah, itu cuma bola kaca. Aku dulu juga punya yang kayak gitu di acara ulang tahun!”

Tanpa menunggu, dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bola. Tapi seketika, cahaya biru berubah menjadi merah menyala, dan Faiz menarik tangannya sambil berteriak kecil. “Panas! Bola ini kayak kompor!”

Profesor Arkan menatapnya dengan dingin. “Keberanianmu setengah hati. Jangan pernah meremehkan hal yang tidak kau pahami.”

Amnan menatap bola itu dengan ragu. Tono, yang biasanya selalu menghindar dari situasi menegangkan, tiba-tiba berdiri dan menyentuh bola itu. Tidak terjadi apa-apa. Cahaya biru tetap lembut, dan Tono menghela napas lega.

“Lho, kok bisa?” Faiz bertanya dengan nada iri.

“Tono tidak banyak bicara, tapi dia punya keberanian yang murni,” jawab Profesor Arkan sambil tersenyum tipis.

Akhirnya, Amnan mengulurkan tangannya. Bola itu terasa dingin di awal, tetapi perlahan-lahan hangat, seperti memancarkan energi yang menenangkan. Cahaya biru menjadi lebih terang, seolah menyambutnya.

“Bagus,” kata Profesor Arkan. “Kamu layak berada di sini.”

Faiz, yang kini merasa tertantang, mencoba lagi. Kali ini, dia menutup matanya dan berkata dengan nada bercanda, “Bismillah, siapa takut!” Ketika dia menyentuh bola, cahaya biru kembali, meskipun tidak sekuat milik Amnan.

“Setidaknya kamu berusaha,” gumam Profesor Arkan.


Setelah tes keberanian selesai, Profesor Arkan mulai menjelaskan tujuan dari kelas ini. “Ilmu pengetahuan sejati bukan hanya tentang angka dan teori yang kalian pelajari di sekolah. Ini tentang memahami hubungan antara dunia fisik dan metafisik. Dan itu semua dimulai di sini.”

Dia berjalan ke rak buku dan mengambil sebuah buku besar dengan sampul kulit yang hampir hancur. Tulisan di sampulnya terlihat seperti huruf-huruf kuno yang tidak mereka pahami.

“Buku ini adalah panduan,” katanya. “Tapi hanya mereka yang benar-benar memiliki niat untuk belajar yang bisa membacanya.”

Dia membuka buku itu, dan halaman-halamannya kosong. Amnan, Faiz, dan Tono saling pandang, bingung.

“Apa ini semacam lelucon?” tanya Faiz, meskipun nadanya tidak seberani biasanya.

“Coba baca,” kata Profesor Arkan sambil menyerahkan buku itu kepada Amnan.

Amnan memegang buku itu dengan hati-hati, lalu melihat ke halaman pertama. Awalnya, dia tidak melihat apa-apa, tetapi perlahan-lahan, tulisan mulai muncul, seperti tinta yang meresap dari bawah kertas. Tulisan itu berbunyi:

“Hanya mereka yang berani bertanya akan menemukan jawabannya.”

“Aku bisa membacanya,” kata Amnan dengan suara pelan.

“Bagus,” kata Profesor Arkan. “Mulai malam ini, kalian akan mempelajari hal-hal yang tidak pernah diajarkan di sekolah. Tapi ingat, ini bukan tanpa risiko. Setiap pelajaran akan menguji keberanian, kecerdasan, dan hati kalian.”

Tono mengangkat tangan dengan ragu. “Kalau kami gagal, apa yang terjadi?”

Profesor Arkan menatapnya dengan mata tajam. “Kegagalan di sini bukan berarti nilai buruk atau hukuman. Kegagalan di sini berarti kehilangan kesempatan untuk melihat dunia dengan cara yang benar-benar baru.”


Pelajaran pertama malam itu dimulai dengan eksperimen sederhana. Profesor Arkan memberi mereka masing-masing selembar kertas kosong dan meminta mereka menuliskan satu hal yang paling mereka takutkan.

“Apa pun yang kalian tulis di sini akan menjadi tantangan pertama kalian,” katanya.

Amnan berpikir keras. Dia takut pada banyak hal—gelap, kegagalan, kehilangan orang yang disayanginya. Tapi akhirnya, dia menulis satu kata: ketidakpastian.

Faiz, yang biasanya suka bercanda, menulis kesepian. Dan Tono, setelah berpikir lama, menulis ketinggian.

Profesor Arkan mengumpulkan kertas-kertas itu tanpa melihat isinya. Dia menaruhnya di atas meja, lalu mengeluarkan sebotol cairan ungu yang terlihat seperti tinta. Dia menuangkan cairan itu ke kertas, dan tulisan mereka menghilang, digantikan oleh simbol-simbol aneh.

“Persiapkan diri kalian,” katanya. “Pelajaran berikutnya akan membawa kalian langsung menghadapi ketakutan terbesar kalian.”

Ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin, dan lampu minyak bergetar seolah-olah angin kencang berhembus. Faiz mencoba melucu untuk mengurangi ketegangan. “Eh, ini beneran, ya? Atau cuma trik sulap?”

Tapi sebelum dia bisa melanjutkan, dinding-dinding ruangan mulai memudar, dan mereka bertiga merasa seperti ditarik ke dalam pusaran angin. Cahaya biru dari bola kristal menyelimuti mereka, dan suara Profesor Arkan terdengar seperti gema di kejauhan.

“Ingat, hanya dengan menghadapi ketakutanmu, kamu bisa menemukan kekuatanmu.”

Amnan merasakan tanah di bawah kakinya hilang, dan saat dia membuka matanya, dia tidak lagi berada di laboratorium.

(Bersambung ke Part 3)

Kelas Tiga Puluh Tiga part 1


 

Amnan dan Kelas Rahasia Ilmu Pengetahuan: Part 1

Malam itu, hujan turun dengan derasnya, menghujam atap sekolah seperti ribuan jarum kecil. Amnan duduk di kamar, menatap buku catatan yang kosong di depannya. Tugas biologi? Tidak menarik. Matematika? Membosankan. Tapi, ada sesuatu yang berbeda di sekolah minggu ini—desas-desus tentang kelas misterius yang hanya dihadiri oleh siswa "terpilih".

“Jadi, kamu ikut?” tanya Faiz, sahabat Amnan yang terkenal karena gaya bicaranya yang selalu penuh lelucon. “Katanya, kelas itu bikin kamu jadi jenius. Eh, atau malah jadi gila, kalau nggak kuat!”

Amnan terkekeh, membuang pensilnya ke meja. “Kelas apa, sih? Kamu suka melebih-lebihkan, Faiz.”

Namun, sebelum Faiz bisa menjawab, pintu kamar terbuka perlahan, dan Tono, teman sekelas mereka yang selalu muncul di saat-saat tidak terduga, melongok dengan wajah serius—yang cukup aneh untuk ukuran Tono.

“Kalian belum dengar?” bisik Tono dengan suara bergetar. “Kelas Ilmu Pengetahuan. Diadakan tengah malam, di ruangan lab tua di lantai tiga. Guru yang mengajar… katanya bukan manusia.”

Faiz tertawa terbahak-bahak, hampir jatuh dari kursinya. “Guru bukan manusia? Jangan-jangan hantu, ya?”

Tapi Amnan merasa ada sesuatu yang menarik. "Kalau itu benar," pikirnya, "aku harus melihatnya sendiri."


Esok harinya, mereka bertiga—Amnan, Faiz, dan Tono—memutuskan untuk mencari tahu tentang kelas tersebut. Saat istirahat, mereka menyelinap ke perpustakaan sekolah yang sepi. Di pojok ruangan, mereka menemukan poster tua berdebu yang menggantung di dinding:

"Kelas Rahasia Ilmu Pengetahuan: Hanya untuk yang Berani. Malam Jumat. Ruang Lab 3."

Faiz menunjuk poster itu dengan antusias. “Kita pergi! Kalau serem, setidaknya ada Tono buat jadi umpan.”

Tono mendengus, tapi dia terlalu penasaran untuk menolak.


Malam itu, dengan jantung berdebar dan senter kecil di tangan, mereka menyelinap masuk ke gedung sekolah. Lampu lorong berkedip-kedip, memberikan suasana yang cukup menyeramkan.

Ketika mereka sampai di depan pintu lab tua, suara berbisik terdengar dari dalam. Faiz, dengan gayanya yang sok berani, mengintip lewat celah pintu. Wajahnya langsung berubah pucat.

“Ada orang di dalam… atau sesuatu!” katanya pelan.

Amnan mengambil napas dalam-dalam dan mendorong pintu. Ruangan itu gelap, dengan hanya satu cahaya kecil menyinari meja di tengah. Di sana, seorang pria tua dengan jubah panjang dan kacamata tebal berdiri.

“Selamat datang,” kata pria itu dengan suara serak. “Siapa di antara kalian yang cukup berani untuk memulai perjalanan ini?”

Amnan menatap pria itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ini bukan hanya kelas biasa.

(Bersambung ke Part 2)


Wiremesh murah hubungi Afandi - 081233336118. - Ada juga besi beton murah.

Jasa Pembuatan Pagar, Kanopi (+Renovasi)
WA ke 081233336118