Amnan dan Kelas Rahasia Ilmu Pengetahuan: Part 5
"Bayangan dari Masa Lalu"
Keesokan malamnya, suasana ruang lab terasa berbeda. Udara lebih dingin dari biasanya, dan bayangan lilin di dinding tampak bergerak seolah hidup. Amnan, Faiz, dan Tono duduk di bangku panjang sambil menunggu instruksi dari Profesor Arkan.
“Tadi malam, kalian belajar mengendalikan ketakutan kalian,” Profesor Arkan membuka pembicaraan. “Namun, ada satu hal yang lebih sulit dari sekadar mengendalikan ketakutan, yaitu menghadapi bayangan masa lalu kalian.”
Amnan mengernyitkan dahi. “Masa lalu? Maksudnya apa, Pak?”
Profesor Arkan menatapnya tajam. “Setiap orang membawa beban dari masa lalu—kesalahan, kehilangan, rasa bersalah, bahkan kenangan yang seolah tidak pernah selesai. Bayangan itu tidak akan pernah hilang sampai kalian belajar untuk menghadapinya.”
Di atas meja besar, kini terdapat tiga bola kaca berbeda. Masing-masing bola memiliki warna yang unik—merah, biru, dan hitam pekat seperti malam tanpa bintang.
“Kalian akan memilih satu bola ini, dan masing-masing akan membawa kalian ke kenangan tertentu dari masa lalu kalian. Di sana, kalian harus menghadapi apa pun yang muncul. Jangan lari, jangan melawan. Pelajari apa yang bisa kalian dapatkan dari pengalaman itu.”
Amnan dan Bola Merah
Amnan merasa tertarik pada bola merah yang tampak menyala seperti api. Begitu tangannya menyentuh permukaannya, dia merasa tubuhnya ditarik ke suatu tempat. Ketika dia membuka matanya, dia berdiri di halaman sekolah lamanya. Namun, ada yang aneh—semua orang tampak lebih kecil, termasuk dirinya sendiri.
“Itu aku?” gumam Amnan sambil melihat seorang anak lelaki yang duduk di bawah pohon besar, memegang buku pelajaran sambil menangis pelan.
Dia mendekat dan mengenali dirinya yang lebih muda, mungkin saat masih kelas 5 SD. Amnan kecil terlihat frustrasi, membolak-balik halaman buku tetapi tidak memahami apa pun.
“Aku ingat ini,” katanya pelan. “Ini hari di mana aku gagal ujian besar…”
Seorang anak lelaki lain mendekat, dengan tatapan mengejek. “Dasar bodoh! Cuma soal kayak gini aja nggak bisa!” ejeknya. Amnan kecil menundukkan kepala, tidak mampu melawan.
Amnan dewasa ingin maju untuk membela dirinya yang lebih muda, tetapi suara Profesor Arkan bergema di kepalanya: “Jangan melawan. Pelajari.”
Dia hanya berdiri di sana, menyaksikan adegan itu berlangsung. Dia merasa perih di hatinya, tetapi untuk pertama kalinya, dia tidak merasa malu. “Aku memang gagal waktu itu,” katanya pelan. “Tapi aku belajar dari kegagalan itu. Aku jadi lebih rajin, lebih tekun.”
Bayangan itu perlahan memudar, meninggalkan Amnan sendirian di halaman sekolah. Namun kali ini, dia merasa lebih ringan, seolah beban yang sudah lama dia bawa akhirnya terangkat.
Faiz dan Bola Biru
Faiz memilih bola biru yang berkilauan seperti air. Ketika dia menyentuhnya, dia merasakan tubuhnya tenggelam, seperti masuk ke dalam lautan yang dalam. Saat dia membuka matanya, dia berada di sebuah ruang tamu kecil yang tampak sangat familier.
Dia melihat dirinya yang lebih muda duduk di sofa, menatap sebuah hadiah ulang tahun yang masih terbungkus rapi. Wajahnya tampak penuh harap.
“Oh tidak…” gumam Faiz, mengingat kejadian itu dengan jelas.
Pintu depan terbuka, dan seorang pria masuk dengan langkah terburu-buru—ayah Faiz. Dia tampak lelah dan tidak memedulikan Faiz kecil yang menyodorkan hadiah itu kepadanya.
“Pak, ini buat Bapak!” suara Faiz kecil terdengar riang, tetapi ayahnya hanya melambaikan tangan. “Nanti saja, Faiz. Bapak sibuk.”
Faiz kecil menunduk kecewa, meletakkan hadiah itu di meja dan berjalan ke kamarnya. Faiz dewasa ingin memanggil ayahnya, tetapi dia tahu itu sia-sia.
“Aku nggak pernah benar-benar bicara sama Bapak setelah itu,” katanya pelan, menyadari rasa sakit yang selama ini dia simpan. “Aku selalu merasa nggak cukup baik.”
Tapi kemudian, dia ingat sesuatu. Setelah kejadian itu, ayahnya pernah meminta maaf, meskipun sudah terlambat. “Dia juga manusia. Dia punya beban sendiri,” kata Faiz, suaranya terdengar lebih mantap.
Ruang tamu itu perlahan memudar, meninggalkan Faiz dengan perasaan yang lebih damai.
Tono dan Bola Hitam
Tono dengan enggan memilih bola hitam. Begitu dia menyentuhnya, semuanya menjadi gelap. Dia berdiri di tengah hutan lebat, dengan suara ranting patah dan angin kencang di sekelilingnya.
“Halo?” panggil Tono, merasa cemas.
Dia melihat dirinya yang lebih muda berdiri di tengah hutan, memeluk lutut dan menangis. Saat itu, Tono kecil sedang tersesat selama perjalanan camping sekolah.
“Ini malam itu,” gumam Tono. “Malam ketika aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli.”
Dia menyaksikan Tono kecil menangis, tetapi kali ini, dia melihat sesuatu yang berbeda. Dia melihat bayangan kecil dari teman-temannya yang mencari di kejauhan, memanggil namanya.
“Mereka mencariku,” katanya pelan. “Aku pikir aku sendirian, tapi aku salah.”
Tono dewasa berjalan mendekati dirinya yang lebih muda, ingin berkata sesuatu tetapi tahu itu mustahil. Namun, hanya dengan mengingat bahwa dia tidak benar-benar sendirian, rasa takut yang dulu menghantuinya perlahan memudar.
Kembali ke Ruang Lab
Ketiganya kembali dengan perasaan yang campur aduk. Profesor Arkan memandang mereka dengan tatapan puas.
“Kalian telah menghadapi bayangan dari masa lalu kalian. Itu tidak mudah, tetapi kalian berhasil.”
Amnan mengangguk. “Aku merasa seperti… aku meninggalkan sesuatu yang berat di belakang.”
“Karena itulah latihan ini penting,” kata Profesor Arkan. “Kalian tidak bisa maju jika terus membawa beban yang tidak perlu. Sekarang, kalian lebih siap untuk menghadapi tantangan yang sebenarnya.”
“Lebih siap untuk apa?” tanya Tono.
Profesor Arkan hanya tersenyum. “Kalian akan segera tahu.”
(Bersambung ke Part 6: "Rahasia di Balik Bola Kristal")