Amnan dan Kelas Rahasia Ilmu Pengetahuan: Part 1
Malam itu, hujan turun dengan derasnya, menghujam atap sekolah seperti ribuan jarum kecil. Amnan duduk di kamar, menatap buku catatan yang kosong di depannya. Tugas biologi? Tidak menarik. Matematika? Membosankan. Tapi, ada sesuatu yang berbeda di sekolah minggu ini—desas-desus tentang kelas misterius yang hanya dihadiri oleh siswa "terpilih".
“Jadi, kamu ikut?” tanya Faiz, sahabat Amnan yang terkenal karena gaya bicaranya yang selalu penuh lelucon. “Katanya, kelas itu bikin kamu jadi jenius. Eh, atau malah jadi gila, kalau nggak kuat!”
Amnan terkekeh, membuang pensilnya ke meja. “Kelas apa, sih? Kamu suka melebih-lebihkan, Faiz.”
Namun, sebelum Faiz bisa menjawab, pintu kamar terbuka perlahan, dan Tono, teman sekelas mereka yang selalu muncul di saat-saat tidak terduga, melongok dengan wajah serius—yang cukup aneh untuk ukuran Tono.
“Kalian belum dengar?” bisik Tono dengan suara bergetar. “Kelas Ilmu Pengetahuan. Diadakan tengah malam, di ruangan lab tua di lantai tiga. Guru yang mengajar… katanya bukan manusia.”
Faiz tertawa terbahak-bahak, hampir jatuh dari kursinya. “Guru bukan manusia? Jangan-jangan hantu, ya?”
Tapi Amnan merasa ada sesuatu yang menarik. "Kalau itu benar," pikirnya, "aku harus melihatnya sendiri."
Esok harinya, mereka bertiga—Amnan, Faiz, dan Tono—memutuskan untuk mencari tahu tentang kelas tersebut. Saat istirahat, mereka menyelinap ke perpustakaan sekolah yang sepi. Di pojok ruangan, mereka menemukan poster tua berdebu yang menggantung di dinding:
"Kelas Rahasia Ilmu Pengetahuan: Hanya untuk yang Berani. Malam Jumat. Ruang Lab 3."
Faiz menunjuk poster itu dengan antusias. “Kita pergi! Kalau serem, setidaknya ada Tono buat jadi umpan.”
Tono mendengus, tapi dia terlalu penasaran untuk menolak.
Malam itu, dengan jantung berdebar dan senter kecil di tangan, mereka menyelinap masuk ke gedung sekolah. Lampu lorong berkedip-kedip, memberikan suasana yang cukup menyeramkan.
Ketika mereka sampai di depan pintu lab tua, suara berbisik terdengar dari dalam. Faiz, dengan gayanya yang sok berani, mengintip lewat celah pintu. Wajahnya langsung berubah pucat.
“Ada orang di dalam… atau sesuatu!” katanya pelan.
Amnan mengambil napas dalam-dalam dan mendorong pintu. Ruangan itu gelap, dengan hanya satu cahaya kecil menyinari meja di tengah. Di sana, seorang pria tua dengan jubah panjang dan kacamata tebal berdiri.
“Selamat datang,” kata pria itu dengan suara serak. “Siapa di antara kalian yang cukup berani untuk memulai perjalanan ini?”
Amnan menatap pria itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ini bukan hanya kelas biasa.
(Bersambung ke Part 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar