Amnan dan Kelas Rahasia Ilmu Pengetahuan: Part 4
"Mengendalikan Ketakutan"
Setelah bola kristal memancarkan cahayanya, ruangan terasa lebih hangat. Ketegangan yang menggantung sejak mereka melewati ujian pertama perlahan menghilang. Amnan, Faiz, dan Tono saling pandang, mencoba memahami apa yang baru saja mereka alami.
Profesor Arkan berjalan ke meja kayu besar di tengah ruangan, meletakkan bola kristal di atasnya, dan menatap mereka dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Sekarang kalian telah menghadapi ketakutan terbesar kalian, langkah berikutnya adalah belajar mengendalikannya,” katanya sambil membuka buku besar bersampul kulit yang sebelumnya dia gunakan. Halaman-halaman buku itu kini penuh dengan simbol dan tulisan yang seolah hidup, bergerak perlahan seperti aliran air.
“Ketakutan,” lanjut Profesor Arkan, “bukan sesuatu yang harus kalian musuhi. Ia adalah alat, seperti pisau. Jika digunakan dengan benar, ia bisa menjadi senjata yang kuat. Jika tidak, ia akan melukai kalian sendiri.”
Faiz mengangkat tangan dengan ragu. “Jadi, maksudnya, kita harus… berteman dengan rasa takut?”
“Bukan berteman,” jawab Profesor Arkan. “Kalian harus menguasainya. Kalian harus membuatnya bekerja untuk kalian, bukan melawan kalian.”
Pelatihan Dimulai
Profesor Arkan memimpin mereka ke sisi ruangan di mana terdapat tiga meja kecil, masing-masing dengan sebuah benda yang tampak biasa: lilin, cermin bundar kecil, dan sekotak pasir hitam.
“Masing-masing dari kalian akan berlatih dengan benda ini,” jelasnya. “Lilin ini akan membantu kalian menghadapi kegelapan di hati kalian. Cermin akan menunjukkan kalian siapa diri kalian sebenarnya. Dan pasir hitam…” Dia berhenti sejenak, menatap benda itu dengan pandangan serius. “…akan menguji seberapa jauh kalian mampu mengendalikan pikiran kalian.”
Tono, yang biasanya menghindari tantangan, mencoba menyelinap ke belakang Faiz. “Eh, mungkin aku cuma bantu Amnan dulu. Aku nggak yakin aku cocok untuk ini.”
“Tidak ada yang bisa membantu kalian,” kata Profesor Arkan tegas. “Ini perjalanan pribadi.”
Amnan dan Lilin Kegelapan
Amnan diberi lilin kecil dan disuruh duduk di tengah ruangan yang sekarang gelap gulita. Hanya nyala lilin itu yang menjadi satu-satunya sumber cahaya.
“Konsentrasi pada nyala api,” kata Profesor Arkan. “Bayangkan bahwa api itu adalah hatimu. Lihat bagaimana ia berkedip. Ia bisa padam kapan saja, tetapi juga bisa menyala lebih besar. Apa yang membuatnya stabil adalah keyakinanmu.”
Awalnya, Amnan merasa mudah. Dia memandangi api itu dengan penuh perhatian. Tapi perlahan, suara-suara mulai muncul dari kegelapan. Suara tawa, bisikan, bahkan tangisan.
“Kamu akan gagal…”
“Kamu tidak cukup kuat…”
“Untuk apa kamu melakukannya?”
Suara-suara itu semakin keras, membuat tangan Amnan gemetar. Nyala lilin mulai mengecil, hampir padam.
“Fokus,” kata Profesor Arkan. “Ketakutanmu adalah angin yang menggoyangkan api itu. Jangan biarkan ia menguasai.”
Amnan menutup matanya, menarik napas dalam, dan membayangkan lilin itu menyala dengan tenang. Dia mendengar suaranya sendiri, bukan suara bisikan gelap, berkata, “Aku bisa melakukannya.”
Ketika dia membuka mata, api itu kembali stabil, bahkan tampak lebih terang dari sebelumnya.
Faiz dan Cermin Diri
Faiz duduk di depan cermin bundar kecil. Profesor Arkan hanya berkata satu hal sebelum meninggalkannya sendiri: “Lihatlah dirimu sampai kau mengenali siapa yang sebenarnya ada di sana.”
Awalnya, Faiz hanya melihat wajahnya sendiri. Tapi semakin lama dia menatap, bayangannya di cermin mulai berubah. Wajah itu tampak lebih tua, lebih serius, dan penuh dengan rasa duka yang tidak pernah dia sadari.
“Kamu hanya badut,” kata bayangan itu, suaranya berat dan dingin. “Kamu hanya membuat orang tertawa untuk menyembunyikan betapa kosongnya dirimu.”
“Tidak,” bisik Faiz, meskipun dia tahu bayangan itu benar.
“Kamu takut sendirian. Dan karena itulah kamu selalu mencari perhatian. Tapi di saat orang-orang meninggalkanmu, kamu tidak punya siapa-siapa, bukan?”
Faiz ingin membanting cermin itu, tetapi tangannya berhenti di udara. Alih-alih marah, dia menatap bayangan itu dan berkata, “Kamu benar. Aku memang takut. Tapi aku juga tahu aku bisa berubah. Aku bisa menjadi lebih baik.”
Bayangan itu tersenyum, tetapi kali ini hangat, seperti memberikan restu. Cermin itu kembali memantulkan wajah Faiz yang sebenarnya.
Tono dan Pasir Hitam
Tono menghadapi kotak pasir hitam dengan penuh keraguan. “Ini apa sih? Mainan anak-anak?”
“Pasir ini akan mencerminkan pikiranmu,” kata Profesor Arkan. “Semakin kacau pikiranmu, semakin sulit pasir ini untuk kau kendalikan.”
Tono diberi instruksi untuk memegang segenggam pasir dan membentuknya menjadi sesuatu yang dia inginkan. “Cukup pikirkan bentuknya, dan pasir akan menuruti pikiranmu.”
Dia mencobanya, tetapi pasir itu malah jatuh dari tangannya, seperti air yang mengalir. Semakin dia mencoba, semakin berantakan pasir itu.
“Fokus,” kata Profesor Arkan dari kejauhan.
“Aku fokus!” jawab Tono dengan frustrasi. Tapi sebenarnya, pikirannya dipenuhi dengan rasa takut. Dia mengingat jurang itu, angin dingin, dan rasa panik yang hampir membuatnya menyerah.
Akhirnya, dia berhenti mencoba dan menutup matanya. Dia menarik napas dalam dan mencoba membayangkan pasir itu menjadi batu kecil yang keras. Ketika dia membuka matanya, pasir di tangannya berubah, memadat menjadi batu seperti yang dia inginkan.
Ketika pelatihan selesai, mereka kembali berkumpul di tengah ruangan. Wajah mereka terlihat lelah tetapi puas.
“Bagus,” kata Profesor Arkan. “Kalian sudah mengambil langkah besar hari ini. Kalian telah belajar bahwa ketakutan bukanlah musuh. Ia adalah bagian dari diri kalian yang harus kalian pahami dan kendalikan.”
Amnan, Faiz, dan Tono saling pandang dan tersenyum. Untuk pertama kalinya, mereka merasa tidak hanya lebih kuat, tetapi juga lebih percaya diri.
“Tapi ini belum akhir,” tambah Profesor Arkan. Dia berjalan ke arah bola kristal yang kini bersinar terang. “Ini hanya awal dari perjalanan yang jauh lebih besar. Besok malam, kita akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya.”
(Bersambung ke Part 5: "Bayangan dari Masa Lalu")
Tidak ada komentar:
Posting Komentar