Amnan dan Kelas Rahasia Ilmu Pengetahuan: Part 3
Amnan berdiri di tengah kegelapan yang pekat. Udara di sekitarnya terasa dingin dan berat, seperti selimut basah yang menekan dadanya. Tidak ada suara, tidak ada cahaya, hanya keheningan yang membuatnya merasa terperangkap.
“Di mana aku?” gumamnya, mencoba memastikan bahwa dia masih bisa mendengar suaranya sendiri.
Tiba-tiba, sebuah cahaya kecil muncul di kejauhan. Cahaya itu seperti lilin yang berkelap-kelip, menarik Amnan untuk mendekat. Namun, setiap langkah yang dia ambil seolah tidak membawa perubahan. Jarak ke cahaya itu tetap sama—selalu berada di ujung pandangannya.
“Amnan!” terdengar suara Faiz memanggil.
Amnan berbalik, tetapi tidak ada siapa pun. “Faiz? Tono? Kalian di mana?”
Hanya keheningan yang menjawab.
Di sisi lain, Faiz membuka matanya dan mendapati dirinya berada di tempat yang sama sekali berbeda. Dia berdiri di sebuah ruangan kosong yang dipenuhi cermin. Setiap cermin memantulkan bayangannya, tetapi tidak seperti biasanya. Bayangan di cermin tidak mengikuti gerakannya.
“Hmm, oke… ini aneh,” katanya sambil melambaikan tangan. Bayangan di cermin tetap diam, menatapnya dengan tatapan yang lebih tajam dari yang dia harapkan.
Faiz mencoba menghindar, tetapi cermin-cermin itu mulai bergerak, membentuk lingkaran yang semakin menyempit di sekelilingnya. Salah satu bayangan di cermin berbicara, suaranya dingin dan menusuk.
“Kesepian, ya? Itu ketakutanmu.”
Faiz menelan ludah. “Aku nggak takut… oke, mungkin sedikit, tapi siapa yang nggak takut sendirian?”
Bayangan itu tersenyum, tetapi senyumnya aneh, hampir seperti ejekan. “Kalau begitu, buktikan. Kalau kamu benar-benar tidak takut, coba bertahan di sini… sendirian.”
Ruangan itu tiba-tiba menjadi gelap, hanya menyisakan suara detak jantung Faiz yang semakin cepat.
Sementara itu, Tono menemukan dirinya berdiri di tepi sebuah jurang yang sangat tinggi. Di bawahnya, hanya ada kabut tebal yang menyembunyikan dasar jurang. Udara di sekitarnya dingin dan berhembus kencang, membuatnya sulit untuk berdiri tegak.
“Kenapa harus ketinggian…” gumam Tono sambil merosot ke tanah, tangannya gemetar.
Di seberang jurang, ada sebuah jembatan kayu yang sempit dan terlihat rapuh. Jembatan itu adalah satu-satunya cara untuk menyeberang ke sisi lain, di mana sebuah pintu bercahaya berdiri, memancarkan cahaya hangat yang mengundang.
“Kalau kamu nggak lewat jembatan itu, kamu akan terjebak di sini selamanya.” Suara itu datang dari seekor burung hitam besar yang tiba-tiba muncul di depannya. Burung itu memiliki mata yang bersinar seperti bara api.
“Aku nggak bisa,” kata Tono, mencoba menghindari tatapan burung itu.
“Kalau begitu, nikmati waktumu di sini. Sendiri. Takut. Dan terperangkap.” Burung itu terbang pergi, meninggalkan Tono dengan perasaan panik.
Amnan terus berjalan, mencoba mendekati cahaya yang sepertinya tidak pernah terjangkau. Namun, sesuatu berubah. Suara langkah kaki lain mulai terdengar di belakangnya, berat dan pelan, seperti seseorang yang sengaja mengikuti.
“Siapa di sana?” Amnan berteriak, tetapi tidak ada jawaban.
Langkah kaki itu semakin mendekat, dan tiba-tiba, sebuah sosok besar muncul dari kegelapan. Wajahnya samar, seperti bayangan kabur, tetapi tubuhnya terlihat seperti bayangan raksasa.
“Kamu takut pada hal yang tidak pasti,” suara itu bergema di seluruh ruangan. “Karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”
“Aku tidak takut!” Amnan berteriak, mencoba terdengar meyakinkan meskipun tangannya gemetar.
Bayangan itu mendekat, dan setiap langkahnya membuat tanah di sekitar Amnan berguncang. “Kalau begitu, buktikan. Ambil langkah tanpa tahu di mana kau akan berpijak.”
Tanah di sekitar Amnan mulai runtuh, meninggalkannya berdiri di sebuah platform kecil. Satu-satunya jalan keluar adalah melompat ke kegelapan di depannya. Tidak ada pijakan yang terlihat, hanya ruang kosong yang gelap.
“Percaya pada dirimu sendiri,” gumam Amnan, mencoba meyakinkan dirinya. “Aku harus melakukannya.”
Dia menutup matanya dan melompat.
Di ruangan Faiz, suara detaknya semakin keras, hingga dia tidak tahan lagi. “Oke, aku paham! Aku takut sendirian. Tapi itu bukan berarti aku nggak bisa melawan!”
Cermin-cermin itu tiba-tiba berhenti bergerak. Bayangan-bayangan di dalamnya menghilang satu per satu, meninggalkan Faiz sendiri di tengah ruangan kosong. Namun kali ini, dia tidak merasa takut. Dia merasa lebih kuat, seolah telah menerima sesuatu yang baru dalam dirinya.
Tono berdiri di tepi jurang, tatapannya terpaku pada jembatan kayu. Angin semakin kencang, hampir mendorongnya jatuh. Tetapi kemudian, dia mengingat kata-kata Profesor Arkan.
“Keberanian bukan berarti tidak takut. Keberanian adalah bertindak meskipun takut.”
Dengan napas tertahan, Tono melangkah ke jembatan. Kayu itu berderit di bawah berat tubuhnya, tetapi dia terus berjalan, tidak mempedulikan angin atau rasa takut yang terus menghantuinya.
Setiap langkah terasa seperti perjuangan, tetapi dia akhirnya sampai di pintu bercahaya. Ketika dia menyentuhnya, cahaya itu menyelimuti tubuhnya, dan dia merasa seperti ditarik kembali.
Amnan, Faiz, dan Tono terbangun di ruang lab tua. Profesor Arkan berdiri di depan mereka, tersenyum tipis. “Kalian berhasil melalui ujian pertama. Tapi ini baru permulaan.”
Faiz langsung berdiri dan menunjuk ke Profesor Arkan. “Baru permulaan? Ini kayak mimpi buruk, tahu nggak?”
Profesor Arkan tertawa pelan. “Mimpi buruk adalah bagian dari pembelajaran. Kalian bertiga baru saja menghadapi ketakutan terbesar kalian. Sekarang, kalian lebih kuat.”
Amnan menatap kedua temannya, lalu menatap Profesor Arkan. “Apa selanjutnya?”
Profesor Arkan tidak menjawab langsung. Sebaliknya, dia mengambil bola kristal yang tadi digunakan dan memegangnya tinggi-tinggi. Bola itu bersinar lebih terang dari sebelumnya, memancarkan cahaya ke seluruh ruangan.
“Selanjutnya,” katanya, “kita akan mempelajari apa yang terjadi ketika kalian tidak hanya menghadapi ketakutan kalian, tetapi juga belajar untuk mengendalikannya.”
(Bersambung ke Part 4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar