Amnan dan Kelas Rahasia Ilmu Pengetahuan: Part 2
Pintu ruang lab tua itu terbuka dengan suara derit yang panjang, seolah sudah bertahun-tahun tidak disentuh. Amnan melangkah masuk dengan hati-hati, diikuti oleh Faiz yang menempel seperti bayangan dan Tono yang terlihat menyesal telah ikut dari awal.
Ruangannya gelap, hanya diterangi oleh sebuah lampu minyak di meja kayu tua yang sudah kusam. Dinding-dinding dipenuhi rak buku yang hampir runtuh karena bobot buku-buku tua, dengan sampul yang sudah memudar dan berbau seperti debu. Di tengah ruangan berdiri pria tua berwajah tegas yang tadi menyapa mereka. Dia mengenakan jubah panjang berwarna hitam dengan bordiran emas berbentuk simbol-simbol aneh yang tak mereka kenali.
“Kalian terlambat,” katanya tanpa basa-basi. Suaranya rendah, tetapi cukup keras untuk membuat Faiz tersentak.
“Terlambat untuk apa, Pak?” Amnan bertanya, mencoba terlihat tenang meskipun tangannya berkeringat dingin.
Pria itu menatap mereka satu per satu, seolah menilai sesuatu yang tidak mereka pahami. “Kalian sudah memilih untuk datang ke sini. Itu berarti kalian cukup berani, atau cukup bodoh.” Dia berhenti sejenak, lalu menunjuk ke tiga kursi kayu di depan meja. “Duduk.”
Tono, yang biasanya paling banyak alasan, langsung duduk pertama, diikuti oleh Amnan dan Faiz. Mereka bertiga menatap pria itu dengan perasaan campur aduk antara ketakutan dan penasaran.
“Perkenalkan, aku adalah Profesor Arkan.”
Faiz, yang sudah hampir meledak karena rasa gugup, mengangkat tangan. “Maaf, Prof. Tapi, kok ruangannya seperti laboratorium milik nenek moyang kita? Apa di sini ada listrik?”
Profesor Arkan mendengus. “Ini bukan laboratorium biasa. Di sini, kita tidak membutuhkan listrik. Sebaliknya, kita akan menggunakan sumber daya yang lebih kuat.”
Dia mengeluarkan sebuah bola kristal kecil dari kantong jubahnya dan meletakkannya di meja. Cahaya biru lembut keluar dari bola itu, menerangi ruangan dengan nuansa magis. Tono hampir jatuh dari kursinya, sementara Faiz mengeluarkan gumaman kagum.
“Apa itu?” Amnan bertanya, matanya terpaku pada bola kristal.
“Ini adalah pengukur keberanian,” jawab Profesor Arkan. “Jika kalian benar-benar ingin melanjutkan kelas ini, kalian harus menyentuh bola ini. Tapi hati-hati, jika kalian tidak cukup berani, bola ini akan memantulkan ketakutan kalian kembali ke dalam hati kalian.”
Faiz tertawa gugup. “Ah, itu cuma bola kaca. Aku dulu juga punya yang kayak gitu di acara ulang tahun!”
Tanpa menunggu, dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bola. Tapi seketika, cahaya biru berubah menjadi merah menyala, dan Faiz menarik tangannya sambil berteriak kecil. “Panas! Bola ini kayak kompor!”
Profesor Arkan menatapnya dengan dingin. “Keberanianmu setengah hati. Jangan pernah meremehkan hal yang tidak kau pahami.”
Amnan menatap bola itu dengan ragu. Tono, yang biasanya selalu menghindar dari situasi menegangkan, tiba-tiba berdiri dan menyentuh bola itu. Tidak terjadi apa-apa. Cahaya biru tetap lembut, dan Tono menghela napas lega.
“Lho, kok bisa?” Faiz bertanya dengan nada iri.
“Tono tidak banyak bicara, tapi dia punya keberanian yang murni,” jawab Profesor Arkan sambil tersenyum tipis.
Akhirnya, Amnan mengulurkan tangannya. Bola itu terasa dingin di awal, tetapi perlahan-lahan hangat, seperti memancarkan energi yang menenangkan. Cahaya biru menjadi lebih terang, seolah menyambutnya.
“Bagus,” kata Profesor Arkan. “Kamu layak berada di sini.”
Faiz, yang kini merasa tertantang, mencoba lagi. Kali ini, dia menutup matanya dan berkata dengan nada bercanda, “Bismillah, siapa takut!” Ketika dia menyentuh bola, cahaya biru kembali, meskipun tidak sekuat milik Amnan.
“Setidaknya kamu berusaha,” gumam Profesor Arkan.
Setelah tes keberanian selesai, Profesor Arkan mulai menjelaskan tujuan dari kelas ini. “Ilmu pengetahuan sejati bukan hanya tentang angka dan teori yang kalian pelajari di sekolah. Ini tentang memahami hubungan antara dunia fisik dan metafisik. Dan itu semua dimulai di sini.”
Dia berjalan ke rak buku dan mengambil sebuah buku besar dengan sampul kulit yang hampir hancur. Tulisan di sampulnya terlihat seperti huruf-huruf kuno yang tidak mereka pahami.
“Buku ini adalah panduan,” katanya. “Tapi hanya mereka yang benar-benar memiliki niat untuk belajar yang bisa membacanya.”
Dia membuka buku itu, dan halaman-halamannya kosong. Amnan, Faiz, dan Tono saling pandang, bingung.
“Apa ini semacam lelucon?” tanya Faiz, meskipun nadanya tidak seberani biasanya.
“Coba baca,” kata Profesor Arkan sambil menyerahkan buku itu kepada Amnan.
Amnan memegang buku itu dengan hati-hati, lalu melihat ke halaman pertama. Awalnya, dia tidak melihat apa-apa, tetapi perlahan-lahan, tulisan mulai muncul, seperti tinta yang meresap dari bawah kertas. Tulisan itu berbunyi:
“Hanya mereka yang berani bertanya akan menemukan jawabannya.”
“Aku bisa membacanya,” kata Amnan dengan suara pelan.
“Bagus,” kata Profesor Arkan. “Mulai malam ini, kalian akan mempelajari hal-hal yang tidak pernah diajarkan di sekolah. Tapi ingat, ini bukan tanpa risiko. Setiap pelajaran akan menguji keberanian, kecerdasan, dan hati kalian.”
Tono mengangkat tangan dengan ragu. “Kalau kami gagal, apa yang terjadi?”
Profesor Arkan menatapnya dengan mata tajam. “Kegagalan di sini bukan berarti nilai buruk atau hukuman. Kegagalan di sini berarti kehilangan kesempatan untuk melihat dunia dengan cara yang benar-benar baru.”
Pelajaran pertama malam itu dimulai dengan eksperimen sederhana. Profesor Arkan memberi mereka masing-masing selembar kertas kosong dan meminta mereka menuliskan satu hal yang paling mereka takutkan.
“Apa pun yang kalian tulis di sini akan menjadi tantangan pertama kalian,” katanya.
Amnan berpikir keras. Dia takut pada banyak hal—gelap, kegagalan, kehilangan orang yang disayanginya. Tapi akhirnya, dia menulis satu kata: ketidakpastian.
Faiz, yang biasanya suka bercanda, menulis kesepian. Dan Tono, setelah berpikir lama, menulis ketinggian.
Profesor Arkan mengumpulkan kertas-kertas itu tanpa melihat isinya. Dia menaruhnya di atas meja, lalu mengeluarkan sebotol cairan ungu yang terlihat seperti tinta. Dia menuangkan cairan itu ke kertas, dan tulisan mereka menghilang, digantikan oleh simbol-simbol aneh.
“Persiapkan diri kalian,” katanya. “Pelajaran berikutnya akan membawa kalian langsung menghadapi ketakutan terbesar kalian.”
Ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin, dan lampu minyak bergetar seolah-olah angin kencang berhembus. Faiz mencoba melucu untuk mengurangi ketegangan. “Eh, ini beneran, ya? Atau cuma trik sulap?”
Tapi sebelum dia bisa melanjutkan, dinding-dinding ruangan mulai memudar, dan mereka bertiga merasa seperti ditarik ke dalam pusaran angin. Cahaya biru dari bola kristal menyelimuti mereka, dan suara Profesor Arkan terdengar seperti gema di kejauhan.
“Ingat, hanya dengan menghadapi ketakutanmu, kamu bisa menemukan kekuatanmu.”
Amnan merasakan tanah di bawah kakinya hilang, dan saat dia membuka matanya, dia tidak lagi berada di laboratorium.
(Bersambung ke Part 3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar