Muhasabah Akhir Tahun 2018
SAATNYA BERUBAH,
AGAR MUSIBAH BERBUAH BERKAH
Sedih. Pedih. Perih. Mungkin itulah
kata-kata yang bisa mewakili ragam duka, luka dan nestapa bangsa ini akibat
musibah yang bertubi-tubi. Belum reda duka Lombok akibat gempa, muncul duka
baru: gempa Palu. Belum berakhir duka Palu yang membuat pilu, kini muncul tsunami
Banten yang juga memakan banyak korban. Kali ini lebih dari 200 orang meninggal.
Ratusan terluka. Ratusan lainnya lagi hilang. Tsunami Banten seolah menjadi
bencana penutup akhir tahun 2018 dari rentetan bencana yang melanda negeri ini.
Khususnya dalam setahun terakhir ini.
Sikap Benar Menghadapi
Musibah
Sebagai
Muslim, kita tentu harus menyikapi aneka musibah secara benar sesuai dengan
tuntunan syariah. Karena itu hakikat musibah ini harus betul-betul kita pahami.
Secara umum
musibah ada dua macam. Pertama:
Musibah karena faktor alam yang merupakan bagian dari sunatullah atau merupakan
qadha (ketentuan) dari Allah SWT yang
tak mungkin ditolak. Misalnya musibah gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dll.
Di antara adab dalam menyikapi qadha
ini adalah sikap ridha dan sabar baik bagi korban ataupun keluarga korban. Bagi
kaum Mukmin, qadha ini merupakan
ujian dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Sungguh Kami
akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut dan kelaparan. Juga berkurangnya
harta, jiwa dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang
sabar (TQS al-Baqarah [2]: 155).
Orang yang
berakal akan menjadikan sikap sabar sebagai pilihannya dalam menyikapi musibah.
Ia ridha terhadap qadha dan takdir
Allah SWT yang menimpa dirinya tanpa berkeluh-kesah (Al-Jazairi, Mawsûah al-Akhlâq, 1/137).
Apalagi musibah
apapun yang menimpa seorang Mukmin, besar atau kecil, bisa menjadi wasilah bagi
penghapusan dosa-dosanya. Rasulullah saw. bersabda:
مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلَّا كَفَّرَ
اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَ
“Tidaklah seorang Muslim tertimpa
musibah hingga tertusuk duri kecuali Allah pasti menghapus dosa-dosanya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Tentu, dosa-dosa terhapus dari orang Mukmin
yang tertimpa musibah jika ia menyikapi musibah itu dengan keridhaan dan
kesabaran (Lihat: Ibn Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar
Minhâj al-Qâshidîn,
1/272).
Kedua: Musibah
yang merupakan akibat dari berbagai kemaksiatan manusia dan pelanggaran mereka
terhadap syariah Allah SWT. Terutama yang dilakukan oleh para penguasa dalam
wujud berbagai tindakan zalim yang mereka lakukan. Dalam hal ini Allah SWT
berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ
الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah tampak
kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan tangan (kemaksiatan)
manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan
(kemaksiatan) mereka itu agar mereka kembali (ke jalan-Nya) (TQS
ar-Rum [30]: 41).
Musibah
banjir, misalnya, bisa jadi karena banyak manusia melakukan kemaksiatan dan pelanggaran.
Salah satunya menggunduli hutan dengan cara semena-mena.
Contoh lain
adalah musibah kemiskinan yang menimpa bangsa ini, justru di tengah-tengah
kekayaan negeri ini yang melimpah-ruah. Jelas, kemiskinan di negeri ini antaranya
merupakan akibat rezim ini secara zalim menyerahkan sebagian besar kekayaan
alam milik rakyat kepada pihak swasta bahkan asing. Contohnya jutaan ton
tambang emas di Papua. Berpuluh-puluh tahun tembang tersebut sebagian besarnya
dinikmati oleh perusahaan asing, PT Freeport. Bukan dinikmati oleh rakyat
negeri ini. Bahkan Rakyat Papua, di tengah limpahan emas, tembaga dll, malah
banyak yang hidup miskin.
Kemiskinan
di negeri ini juga diakibatkan oleh karena negeri ini terjerat utang ribawi. Saat
ini utang tersebut nyaris menyentuh angka Rp 5.000 triliun, dengan bunga yang
harus dibayar setiap tahun lebih dari Rp 100 triliun. Akibatnya, pendapatan
negara yang seharusnya bisa digunakan untuk mengatasi kemiskinan, terpakai
untuk membayar utang ribawi berikut bunganya.
Demikian
pula musibah lain dalam bentuk bencana moral seperti maraknya perzinaan, LGBT,
dll. Musibah ini lalu melahirkan ragam bencana lain berupa penyakit yang sulit
diobati. Di antaranya HIV/AIDS.
Maraknya
riba, yang pelaku utamanya adalah negara, dan zina yang juga dibiarkan oleh
negara, boleh jadi menjadi penyebab datangnya azab Allah SWT atas negeri ini.
Sebagaimana sabda Nabi saw.:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَ
الرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
Jika zina
dan riba telah merajarela di suatu negeri, berarti mereka telah menghalalkan
azab Allah atas diri mereka sendiri (HR al-Hakim, Al-Mustadrak, 2/42).
Musibah/bencana
jenis kedua ini sebetulnya bisa dihentikan. Bahkan bisa dicegah. Caranya: Pertama, dengan melakukan amar makruf
nahi mungkar terhadap pelaku kemaksiatan atau kezaliman. Kedua, menerapkan hukuman yang tegas terhadap pelaku kejahatan dan
kezaliman tersebut. Dalam hal ini, Rasul saw. bersabda:
«حَدٌّ
يُقَامُ فِى الأَرْضِ خَيْرٌ لِلنَّاسِ مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا ثَلاَثِينَ أَوْ
أَرْبَعِينَ صَبَاحاً»
“Satu hadd (hukuman) yang
ditegakkan di muka bumi adalah lebih baik untuk manusia daripada mereka diguyur
hujan tiga puluh atau empat puluh pagi.”
(HR Ahmad).
Hadis ini menyatakan betapa besarnya
kebaikan dari penerapan hudûd Allah SWT. Pasalnya, jika satu hadd (hukuman) saja diterapkan di
muka bumi membawa kebaikan sedemikian besar, lalu bagaimana jika yang
diterapkan adalah semua hudûd Allah SWT dan syariah-Nya secara
menyeluruh? Tentu keberkahan akan
berlimpah-ruah memenuhi bumi. Pasalnya, penerapan hukum Islam atau syariah
Islam secara kaffah adalah wujud
hakiki dari ketakwaan. Ketakwaan pasti akan mendatangkan keberkahan berlimpah dari
langit dan bumi. Sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا
لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan
tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu sehingga Kami menyiksa mereka
karena perbuatan yang mereka kerjakan (TQS al-Araf [7]: 96).
Dalam ayat di atas, jelas Allah SWT telah mengaitkan
secara langsung keberkahan hidup penduduk suatu negeri dengan keimanan dan
ketakwaan mereka kepada-Nya. Di dalam kitab tafsirnya, Imam ar-Razi menafsirkan,
pada ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa jika mereka taat kepada-Nya, pasti Dia akan membukakan bagi mereka segala
pintu kebaikan.
Agar Musibah
Berbuah Berkah
Dari paparan di atas, jelas bahwa ragam musibah yang
menimpa kita bisa berbuah berkah atau mendatangkan aneka kebaikan jika: Pertama, musibah yang ada disikapi
dengan sikap ridha dan sabar. Kesabaran atas musibah akan berbuah pahala dari
Allah SWT. Ini adalah salah satu bentuk keberkahan.
Kedua, musibah yang ada dijadikan bahan muhâsabah. Dengan itu setiap Muslim bisa mengukur sejauh
mana ia telah betul-betul menaati seluruh perintah Allah SWT, dan sejauh mana
ia benar-benar telah menjauhi larangan-larangan-Nya. Dengan itu pula, setiap
saat ia akan terdorong untuk terus berupaya menjadi orang yang selalu taat
kepada Allah SWT serta menjauhi maksiat dan dosa kepada-Nya. Ini adalah bentuk
keberkahan yang lain.
Saatnya Berubah
Dari paparan di atas juga sudah sangat jelas, bahwa kunci keberkahan hidup
adalah takwa kepada Allah SWT. Tentu dengan
takwa yang sebenar-benarnya. Takwa yang sebenarnya tidak lain dengan mengikuti
seluruh petunjuk Allah SWT di dalam al-Quran. Artinya, tidak ada ketakwaan
tanpa sikap mengikuti al-Quran. Allah SWT berfirman:
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ
وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang
diberkati. Karena itulah, ikutilah dia dan bertakwalah agar kalian diberi
rahmat (TQS al-Anam
[6]: 155).
Di dalam kitab tafsirnya, Imam
al-Qurthubi menjelaskan, bahwa al-Quran disifati dengan mubârak (yang diberkati) karena mengandung banyak keberkahan
atau aneka kebaikan di dalamnya. Adapun frasa
fattabiûhu, maknanya adalah imalû bimâ fîhi (amalkanlah semua hal yang
terkandung di dalam al-Quran itu).
Karena al-Quran merupakan sumber keberkahan hidup,
maka hanya dengan mengikuti al-Quran saja keberkahan hidup itu bisa dirasakan
oleh setiap Muslim.
Alhasil, agar hidup kita menjadi berkah, dan
jauh dari segala musibah, kita harus berubah. Caranya adalah dengan meninggalkan
semua hukum jahiliah, yang telah terbukti mendatangkan aneka musibah. Lalu menegakkan
syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan,
sebagai wujud menerapkan seluruh isi al-Quran. Hal itu hanya mungkin terwujud
dalam institus Khilafah ala minhâj an-nubuwwah. []
Hikmah:
Allah SWT
berfirman:
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي
السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ (16) أَمْ
أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ
كَيْفَ نَذِيرِ (17) وَلَقَدْ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَكَيْفَ كَانَ
نَكِيرِ (18)
Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang
(berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian
sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang? Ataukah kalian merasa aman terhadap Allah yang
(berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu? Kelak
kalian akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? Sungguh
orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Alangkah
hebatnya kemurkaan-Ku (TQS al-Mulk [67]: 16-18).
[]
[SELENGKAPNYA] tentang Buletin KAFFAH semua edisi BISA dilihat DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar