Para pakar sosiologi mengukur kemiskinan dalam istilah-istilah absolut dan relatif . Ukuran-ukuran kemiskinan absolut menentukan tingkat penghasilan yang disyaratkan bagi kebutuhan-kebutuhan dasar; menurut definisi, kemiskinan terjadi ketika penghasilan berada di bawah tingkat absolut ini. Suatu indeks kemiskinan yang disusun oleh pemerintah, garis kemiskinan ialah salah satu ukuran absolut semacam ini. Garis kemiskinan didasarkan atas biaya makanan bergizi pada saat ini dikalikan dengan suatu jumlah indeks. Apabila menggunakan ukuran-ukuran absolut ini, maka penghasilan sekitar 11,7 persen dari total penduduk Amerika Serikat atau sekitar 32,9 juta penduduk, berada di bawah garis kemiskinan (U. S. Census Bureau, 2002a, dalam DuBois & Miley, 2005: 288).
Penghasilan aktual hanyalah satu bagian dari potret ini:
Suatu standard kehidupan keluarga dalam kaitan dengan anggota-anggota keluarga pada komunitas lain mengukur relative deprivation atau kemiskinan relatif keluarga (Williams, 1975, dalam DuBois & Miley, 2005: 288). Dengan kata lain, kemiskinan relatif mengacu kepada persepsi terhadap kemiskinan dalam kaitan dengan orang-orang lain pada waktu dan tempat yang sama. Jadi, berbeda dengan “kekayaan” orang-orang miskin di Amerika Serikat dengan kemiskinan yang papa yang dialami oleh orang-orang di negara-negara lain tidak membuat orang-orang yang miskin di Amerika Serikat kurang miskin dalam kaitan dengan warganegara Amerika Serikat lainnya.
Mengapa manusia miskin?
Dua sikap yang saling berbeda menunjukkan cara dimana orang-orang yang miskin dipandang di dalam sejarah Amerika Serikat. Salah satu sikap menempatkan kesalahan pada individu-individu, sementara sikap-sikap lain menempatkan tanggung jawab pada masyarakat yang memungkinkan kondisi-kondisi yang menciptakan kemiskinan. Sikap yang memperlihatkan tanggung jawab pada individu menunjukkan kekurangan-kekurangan kararakter sebagai akar yang menyebabkan kemiskinan. Orang-orang yang menganut pandangan ini yakin bahwa perubahan-perubahan pada individu akan mengurangi terjadinya kemiskinan menyeluruh. Sikap yang menempatkan tanggung jawab pada masyarakat mengakui peran masalah-masalah struktural dalam kemiskinan. Orang-orang yang menganut pandangan struktural melihat reformasi sosial sebagai kunci untuk mengurangi kemiskinan.
Perubahan-perubahan sikap cenderung mencerminkan kecenderungan-kecenderungan ekonomi, ideologi-ideologi politik, kondisi-kondisi sosial, dan keyakinan-keyakinan agama yang kuat. Pada masa-masa konservatisme politik, sosial, dan keagamaan, bantuan-bantuan kesejahteraan sosial cenderung lebih menghukum, membatasi pelayanan-pelayanan melalui pedoman dan stigma penghasilan yang tegas. Selama masa-masa pergolakan politik dan ekonomi, respon-srespons masyarakat terhadap kemiskinan meningkat untuk memperoleh bantuan kemanusiaan. Bantuan-bantuan kesejahteraan berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu sambil tetap berusaha mengurangi sebab-sebab sosial dan lingkungan dari kemiskinan, seperti pendidikan yang kurang memadai, kesehatan yang buruk, pengangguran, diskriminasi, dan erosi hak-hak sipil.
Apa yang dimaksud dengan persepsi orang-orang terhadap siapakah orang miskin itu? Ketika orang-orang menempatkan sebab kemiskinan pada individu-individu, individu-individu itu sering menyebut ciri-ciri seperti kualitas yang terdapat di dalam diri sendiri, sifat-sifat perilaku, dan pertimbangan-pertimbangan budaya sebagai faktor-faktor yang menyumbang bagi kemiskinan (Popple & Leighninger, 2002, dalam DuBois & Miley, 2005: 289). Beberapa kalangan bahkan yakin bahwa inferioritas genetis, termasuk kapasitas intelektual yang terbatas (atau IQ), sebagai penyebab kemiskinan.
Berbagai stereotip mengakibatkan kelompok-kelompok etnis dan ras pada khususnya rentan terhadap pelabelan inferior secara sosial dan keterbatasan secara intelektual.
Akan tetapi, penelitian terbaru menyanggah teori-teori yang mengusulkan relasi antara warisan rasial dan intelijensi (Myers, 2004, dalam DuBois & Miley, 2005: 289).
Banyak kalangan yakin bahwa kualitas-kualitas perilaku seperti motivasi—atau yang lebih spesifik, kurangnya motivasi dan tiadanya suatu etika kerja—mencirikan orang-orang yang miskin. Akan tetapi, bukti faktual mematahkan miskonsepsi yang dianut secara luas ini. Banyak orang yang miskin adalah orang yang setengah menganggur (underemployed); mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bergaji rendah yang pada umumnya tanpa asuransi kesehatan atau pension. Ironis sekali bahwa demikian banyak orang-orang miskin yang bekerja bergantung pada pekerjaan-pekerjaan yang memberikan penghasilan yang berada di bawah garis kemiskinan karena etika kerja mereka yang kuat, stigma yang dikaitkan dengan penerimaan bantuan-bantuan kesejahteraan, atau bahkan kurangnya program-program bantuan yang relevan. Pada sisi lain, untuk menyimpulkan bahwa keluarga-keluarga yang menerima bantuan kesejahteraan tidak ingin bekerja dengan upah yang memadai adalah suatu miskonsepsi.
Beberapa kalangan yakin bahwa perbedaan-perbedaan budayalah yang menyebabkan orang-orang inferior secara fungsional dan dengan demikian pada akhirnya menjadi miskin. Sebagai contoh, kelemahan budaya dikaitkan dengan rendahnya pencapaian pendidikan dan terbatasnya kesempatan-kesempatan bagi orang-orang untuk mengubah keadaan-keadaan mereka. Suatu budaya kemiskinan berkembang yang menciptakan suatu subbudaya yang khas di kalangan orang-orang miskin, yang dibedakan oleh nilai-nilai, sistem-sistem keyakinan, dan pola-pola perilaku yang ditransmisikan secara budaya (Cattell-Gordon, 1990; Lewis, 1969, dalam DuBois & Miley, 2005: 289).
Menurut pandangan struktural, kelemahan-kelemahan di dalam lembaga-lembaga masyarakat menciptakan kondisi-kondisi yang menyebabkan kemiskinan. Beeghley (1983: 133, dalam DuBois & Miley, 2005: 290) menawarkan suatu analisis sosiologis tentang kelemahan-kelemahan semacam ini:
1. Cara dimana mengkorelasikan kemiskinan menciptakan suatu lingkaran setan yang sering membelenggu dan membatasi kemampuan mereka dalam mengubah situasi mereka
2. Cara sistem kelas menghasilkan sistem kelas itu sendiri sepanjang masa
3. Pengorganisasian ekonomi
4. Pengabadian diskriminasi yang melembaga terhadap kaum Kulit Hitam dan perempuan Kemiskinan yang parah menciptakan suatu siklus yang menegangkan yang membatasi kesempatan-kesempatan bagi kemajuan ketenagakerjaan dan pendidikan. Sekali seseorang menjadi miskin dan kekurangan sumberdaya-sumberdaya, banyak hambatan-hambatan tambahan muncul yang mencegah orang itu melarikan diri atau keluar dari siklus kemiskinan itu. Pelayanan-pelayanan kesejahteraan, yang dirancang untuk memotong siklus, sering membelenggu lebih lanjut para penerima pelayanan kesejahteraan itu di dalam kemiskinan.
Sebagai contoh, syarat-syarat elijibilitas menuntut agar orang-orang menghabiskan secara harfiah seluruh sumberdaya-sumberdaya pribadi mereka sebelum mereka dapat menerima bahkan bantuan publik yang terbatas. Ketentuan-ketentuan menghukum individu-individu lebih lanjut dengan mempertimbangkan hibah-hibah pendidikan sebagai penghasilan yang tersedia, menolak jaminan kesehatan bagi orang-orang miskin yang bekerja, dan pada banyak negara bagian, tidak memperbolehkan jaminan kesejahteraan kepada keluarga yang masih memiliki dua orangtua. Kaum liberal dan radikal mengecam sistem kesejahteraan sosial yang menindas orang-orang yang sangat miskin yang seharusnya dibantu.
Beeghley (1983, dalam DuBois & Miley, 2005: 290) berpendapat bahwa stratifikasi sosial dan sistem kelas membuatnya sulit dipercaya bahwa anak-anak yang terlahir ke dalam strata yang kurang beruntung secara sosial tidak akan pernah dapat keluar dari belenggu kemiskinan melalui mobilitas sosial. Lagi pula, beberapa kalangan bahkan berpendapat bahwa kurangnya mobilitas sosial menciptakan suatu sistem kasta yang diwariskan atau kemiskinan generasional. Pengorganisasian lembaga-lembaga ekonomi masyarakat juga menyumbang bagi kemiskinan. Sifat pekerjaan-pekerjaan yang tersedia bagi orang-orang miskin, orang-orang yang tidak terampil, dan orang-orang yang kurang berpendidikan membatasi kesempatan-kesempatan mereka. Upah yang rendah, kurangnya jaminan kesehatan dan pensiun, jaminan pekerjaan tetap yang berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan marjinal, paruhwaktu, dan musiman menyumbang terhadap siklus kemiskinan. Terakhir, Beeghley menegaskan bahwa diskriminasi terhadap kaum minoritas dan kaum perempuan menyebabkan sebagian besar populasi ini di antara orang-orang miskin. Praktek-praktek yang diskriminatif memberikan keuntungan kepada kaum lakilaki Kulit Putih dalam hal ketenagakerjaan, penyerahan pengasuhan anak-anak kepada kaum ibu tanpa bantuan kepada anak yang memadai, dan menciptakan peran-peran ketergantungan bagai kaum perempuan melalui pola-pola pengasuhan anak yang dipromosikan secara sosial. Empat butir analisis Beeghley memperlihatkan bahwa “orang-orang yang paling miskin tinggal di dalam kemiskinan karena alasan-alasan struktural, sangat sedikit di antara mereka menjadi miskin karena alasan-alasan kurang motivasi, kurang keterampilan, atau kurangnya sifat-sifat pribadi lainnya” (Beeghley (1983: 133, dalam DuBois & Miley, 2005: 290).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar