Republik Ironi

Republik Ironi

Oleh: Akh Muzakki
(Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya)

Dua bulan terakhir, hati negeri ini berdetak kencang. Ada dua peristiwa besar di tanah air yang membuat detakan jantung ibu pertiwi meningkat. Peningkatan detakan jantung itu merupakan pertanda sakit yang harus menemukan jalan penyembuhannya.

Di ujung sana, saat masih disibukkan untuk mengatasi dampak besar yang ditimbulkan oleh gempa Jawa Barat pada 2 September 2009, publik dikejutkan kembali oleh gempa bumi serupa, namun berskala lebih besar di Sumatra Barat.

Kedua gempa di atas telah menimbulkan korban yang cukup besar, tidak hanya materi, tapi juga jiwa. Misalnya, hingga 22 September 2009, menurut data Pusat Penanggulan Krisis (PPK) Depkes RI, gempa Jawa Barat telah mengakibatkan 217.712 bangunan rusak dengan perincian 213.307 unit rumah, 1.221 unit sekolah, 2.859 masjid/mushala, dan 325 unit perkantoran. Korban yang meninggal dunia mencapai 80 orang.

Sementara itu, gempa Sumatra yang terjadi pada 30 September 2009 itu telah menewaskan lebih dari 700 orang. Jumlah korban tewas diperkirakan akan terus meningkat menyusul masih banyaknya anggota masyarakat yang diperkirakan berada di bawah reruntuhan bangunan atau hilang dan belum bisa ditemukan hingga saat ini.

Akibat gempa di Sumatra Barat itu pula, ribuan rumah ditemukan ambruk, kemudian ratusan pertokoan, perkantoran, dan hotel dikabarkan berantakan. Di ujung yang lain, pada dua bulan terakhir ini, negeri ini menjadi saksi atas perhelatan serangkaian pelantikan anggota parlemen, baik di daerah maupun di pusat, yang berhasil terpilih pada Pemilu 2009 yang lalu untuk periode 2009-2014. Perhelatan pelantikan itu, dalam realitasnya, menelan biaya yang sangat besar.

Pada pelantikan anggota DPR RI, 1 Oktober 2009, misalnya, persiapannya menelan biaya sedikitnya Rp 44,1 miliar. Biaya sebesar itu merupakan total dari alokasi anggaran tiga instansi terkait. Perinciannya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menganggarkan Rp 11 miliar, Setjen mengalokasikan DPR Rp 26,5 miliar, dan Setjen DPD menyiapkan Rp 6,6 miliar.

Ironi elite
Jumlah biaya sebesar Rp 44,1 miliar di atas memang baru hanya untuk kepentingan pelantikan angota DPR RI. Tentu, jumlah itu akan berubah naik jika ditambahkan dengan biaya yang digunakan untuk persiapan pelantikan anggota parlemen pada level provinsi dan kabupaten/kota.

Jika saja besaran biaya pelantikan anggota parlemen di atas dialihkan (meskipun tidak seluruhnya), tentu jumlah itu akan sangat membantu penderitaan korban gempa bumi di dua wilayah tersebut. Tengoklah penderitaan mereka yang menjadi korban. Jangankan pada kasus gempa Sumatra yang baru terjadi, korban gempa Jawa Barat saja hingga kini dikabarkan masih ada yang terpaksa harus tinggal di tenda pengungsian. Anak-anak juga terpaksa harus menjalani hari-hari pertama masuk sekolah di tenda pengungsian.

Sudah sebulan para korban gempa Jawa Barat harus merelakan diri untuk melepaskan ketenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan yang selama ini mereka rasakan. Ada yang kehilangan tempat tinggal. Dan, ada pula yang harus kehilangan anak, istri, orang tua, atau sanak sudara. Tengoklah lebih jauh korban gempa Sumatra. Dengan kekuatan gempa berskala lebih besar daripada yang terjadi di Jawa Barat, gempa Sumatra tentu menimbulkan dampak yang jauh lebih besar.

Di samping jumlah korban tewas yang lebih besar, masyarakat yang berhasil menyelamatkan diri harus hidup tanpa pasokan listrik dan akses komunikasi. Bahkan, tak sedikit di antara mereka yang kesulitan pasokan makanan. Lebih jauh lagi, di tengah ketidakpastian penanganan oleh pemerintah, aksi jarah-menjarah mulai banyak ditemukan di sejumlah masyarakat korban gempa di Sumatra Barat.

Tanggap nurani
Memang, terhadap bencana gempa di atas, pemerintah juga telah menerapkan tanggap darurat. Namun, menurut hemat saya, terpuruknya warga masyarakat akibat bencana alam di atas menuntut lebih besar atas munculnya 'tanggap darurat politik' dari para elite negeri ini.

Jika elite sebuah negeri lebih sibuk dengan urusan ritual politik daripada empati pada penderitaan rakyat, negeri itu menjadikan politik kekuasaan-birokrasi sebagai panglima. Orientasi kepada kepentingan kehidupan publik hanya menjadi prajurit semata.

Ironisnya pula, negeri seperti itu dekat sekali dengan praktik akrobatik elite politik Indonesia. Petinggi politik di negeri ini masih kerap menyibukkan diri pada penyelenggaraan ritual-ritual politik berbiaya besar daripada sensivitas pada penderitaan dan atau kemalangan publik.

Publik pun sering diperdengarkan dan dipersaksikan oleh praktik politik elitenya yang lebih mempertaruhkan aktivisme politiknya pada perengkuhan kekuasaan-birokrasi daripada pengabdian pada kebutuhan dan kehidupan publik.

Kepedihan dan kesedihan memang harus menjadi bagian dari kehidupan bangsa ini, menyusul jatuhnya korban gempa dalam jumlah besar di dua wilayah dalam sebulan lebih. Namun, kepedihan dan kesedihan itu harus diwujudkan dalam bentuk praktik politik yang nyata serta peka terhadap penderitaan rakyat.

Negeri ini membutuhkan elite politik yang negawaran, bukan petinggi yang mengabdi kepada kekuasaan birokrasi. Sudah menjadi praktik yang cukup lama di negeri ini bahwa birokrasi, alih-alih berpihak ke 'bawah' (baca: publik), masih berorientasi untuk pelayanan ke 'atas'. Bahkan, saking kuatnya arus orientasi birokrasi seperti ini, istilah 'waskat' yang mestinya diartikan sebagai kepanjangan dari 'pengawasan melekat' dipelesetkan menjadi 'wajib setor ke atas'.

Kalaulah orientasinya sudah mulai bergeser lebih baik, birokrasi kita masih menjauh dari semangat penguatan nurani. Bila dihadapkan pada kasus bencana alam dan sosial, elite negeri ini masih lebih mengedepankan ketaatan pada birokrasi daripada 'pengabdian' kepada kepentingan rakyat secara lebih besar.

Batik batik batik

BATIK tiba-tiba naik daun. Presiden pun mengimbau seluruh rakyat Indonesia untuk mengenakan batik di hari Jumat (2/10). Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo tak kalah heboh. Ia mengeluarkan Instruksi Gubernur No 136 Tahun 2009 tentang Pemakaian Baju Batik pada 2 Oktober 2009 dan Seruan Gubernur No 9 Tahun 2009 Kepada Masyarakat Jakarta (tentang hal yang sama). Instruksi dan Seruan Gubernur DKI itu disampaikan Deputi Gubernur bidang Kebudayaan dan Pariwisata,  Aurora Tambunan, beberapa hari lalu.

Sungguh beralasan jika bangsa ini kemudian mbungahi (menjadi bangga) atas kabar masuknya batik Indonesia sebagai nominasi untuk dikukuhkan pada Daftar Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO (Badan PBB Mengenai Pendidikan, Ilmu, dan Budaya). Apalagi, kabar itu pertama kali tersiar tak lama setelah gonjang-ganjing Indonesia-Malaysia soal Tari Pendet. Maka kabar itu tentu bagaikan hujan yang mengguyur padang pasir. Hasilnya, imbauan, seruan, ajakan, bahkan instruksi pun keluar.

Lantas, warga beramai-ramai membeli "batik". Yang semula tak doyan, bahkan tak peduli pada batik, jadi begitu antusias di suasana euforia ini.

Jika menengok lebih dalam soal batik, warisan budaya, dan usaha pelestariannya, rasanya segala imbuan, seruan bahkan instruksi tadi memang terlihat sebagai bagian dari euforia semata. Sebuah kebungahan - kegembiraan luar biasa -  yang bisa jadi sangat melupakan hal lain yang sejatinya perlu dilakukan. Pemaknaan dan pemahaman atas batik sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan oleh bangsa ini boleh jadi terlepas dari konteks perayaan  dan euforia tadi.

Sah saja merayakan batik namun sadarkah pemerintah bahwa pengukuhan itu membawa tanggungjawab untuk mendidik dan membangun kesadaran bangsa ini  untuk tak hanya sekadar berbangga menggunakan batik -  yang pada kenyataan mereka hanya menggunakan tekstil bermotif batik - tapi juga memahami seperti apa batik Indonesia itu? Atau mengapa UNESCO memilih batik Indonesia dan bukannya batik Malaysia, India, atau Thailand, misalnya.

Sadarkah si pemakai batik tentang inti dari batik Indonesia?  Teknologi, filosofi, bahan yang digunakan, makna desain, demikian pula dengan urusan tata cara pemakaian. Pahamkah si pemakai batik industri - batik printing - atau tekstil bermotif  batik,  dan bukannya menggunakan kain batik bermotif , tentang hubungan antara batik dan para raja Jawa sehingga ada motif-motif  tertentu menjadikannya khusus karena hanya digunakan oleh para raja.

Melakukan sesuatu, termasuk menggunakan batik hari ini, atas dasar  imbauan, instruksi para petinggi tanpa sedikitpun pemahaman dan pemaknaan tentang batik Indonesia, Warisan Budaya Tak Benda, dan upaya pelestarian terasa bikin ngilu.

Pemprov DKI punya satu museum yang bisa memberi pencerahan atas segala sesuatu tentang batik Indonesia. Tapi lokasi museum itu hingga kini ada di belakang pedagang kaki lima (PKL) di Jalan KS Tubun, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tak ada satu pun kalimat dari otoritasdi DKI yang mengarahkan dan mendorong warga, apalagi menegaskan, Museum Tekstil sebagai wadah yang paling punya keterkaitan dalam urusan batik dan warisan budaya.

Anak sekolah pun diimbau untuk mengggunakan batik hari ini, bukannya diajak ke Museum Tekstil untuk mengerti apa dan bagaimana batik Indonesia.

Di lain pihak, jika bicara soal budaya Jakarta, Pemprov DKI seperti mati rasa. Bicara batik, bahkan menginstruksikan pegawai Pemprov Dki untuk menggunakan batik,  tapi Museum Tekstil yang biasa mengadakan workshop batik dan tersimpan koleksi batik, kondisinya tak berubah. Kusam muram dikangkangi PKL. Lokasinya pun sama sekali tak strategis.

Hal lain lagi, soal Wayang Revolusi yang tak jelas penyimpanannya, tapi Pemprov DKI tak juga beraksi malah ikut hanyut dalam euforia. Wayang Revolusi yang sudah sejak Agustus 2005 dikembalikan dari Wereldmuseum Rotterdam kini masih tersimpan di Kedutaan Belanda. Padahal, harusnya warga sudah bisa menikmati koleksi tersbut di Museum Wayang.

Belum lagi soal budaya Betawi yang belum juga ada greget. Folklor Betawi itu seperti apa? Sudahkah bidang penelitian dan pengembangan di dinas yang kini bernama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI meneliti folklor Betawi. Ada banyak aspek budaya di kota ini yang masih sangat perlu perhatian dan jika memang ingin dikaitkan dengan momentum batik Indonesia yang masuk dalam  Daftar Warisan Budaya Tak Benda UNESCO, mengapa dalam imbauan, seruan, dan ajakan tak ditambahkan, "...sebagai bagian dari identitas kota pakailah batik Betawi..."  Jika sudah demikian, pertanyaan lain akan menyusul, seperti apa itu batik Betawi? Lantas, mulailah dengan memperkenalkan batik Betawi dan budaya lain yang jadi ciri khas kota ini, sebelum bicara lebih luas, Indonesia.

Selamat merayakan warisan budaya kita!

Taubat Nasional Umat Nabi Yunus

Taubat Nasional Umat Nabi Yunus

By M Nurwan Ismail
Allah mengutus Nabi Yunus alaihissalam kepada kaum yang berdiam di negeri Ninive (sekarang masuk dalam teritori Irak). Nabi Yunus mendakwah mereka agar bertaubat, beriman, dan menyembah kepada Allah. Tetapi mereka menolak karena menganggap Nabi Yunus hanya mengada-ada serta menilai seruan itu sangat bertentangan dengan kebiasaan mereka yang telah mendarah daging dan dilakukan turun-temurun.

Penolakan mereka bertambah bobotnya ketika kaum ini punya dalih yang lebih jelek, bahwa Nabi Yunus yang diutus dan berdakwah itu bukan dari kalangan mereka. Pada akhirnya mereka tetap menolak Yunus dan terus berbuat durhaka. Ini membuat Nabi Yunus memutuskan akan pergi meninggalkan mereka setelah sebelumnya mengingatkan bahwa siksa Allah akan turun.

Begitu Nabi Yunus meninggalkan negeri itu, tanda-tanda siksa yang dijanjikan pun terlihat. Melihat tanda-tanda itu, mereka jadi yakin seruan Nabi Yunus bakal jadi kenyataan. Kaum itu menyesal dan segera mengambil sikap bertaubat (secara nasional) kepada Allah. Melihat sikap yang ikhlas ini, Allah membatalkan siksa yang seyogianya diturunkan kepada mereka. Akhirnya mereka beruntung, selamat, dan hidup berbahagia dalam kasih sayang Allah.

Di dalam Alquran banyak diceritakan sikap umat-umat terdahulu terhadap seruan hak yang disampaikan para rasul. Tapi, satu-satunya umat yang selamat dari siksa adalah umat yang diseru oleh Nabi Yunus itu. Ini disebabkan mereka segera bertaubat dan membenarkan seruan hak yang mulanya mereka nilai sebagai sesuatu yang diada-adakan oleh Nabi Yunus.

Sejarah para rasul dan umat-umat dahulu adalah sunatullah yang berisi nasihat dan pelajaran yang harus kita petik. Mereka dulu selalu merasa telah benar dengan semua perbuatan yang mereka lakukan, dan akibatnya pertama, diri mereka tertutup untuk menerima kebenaran dan bangkit sebagai penghadang terhadap seruan hak.

Kedua, nasihat mereka rasakan sebagai sesuatu yang diadakan-adakan dan kehormatan mereka terusik bila menerima nasihat. Ketiga, mereka selalu curiga kepada penyeru kebenaran, sehingga menuduh para rasul Allah sebagai orang gila, tukang sihir, dan lain-lain.

Bagi kita bangsa Indonesia, terutama umat Islam, marilah belajar dari sejarah umat-umat dahulu, terutama dalam melihat berbagai bencana yang terjadi sekarang ini. Tidakkah kita dapat merasakan bahwa persoalan yang sedang melanda bangsa ini adalah teguran dari Allah yang sangat sayang kepada kita? Malukah kita kalau bersikap terbuka (ikhlas dan jujur) untuk mengakui bahwa kita sekarang berhadapan dengan akibat dari kelalaian, keserakahan, dan kesombongan kita?

Hanya ada satu solusi untuk mengatasi kemelut yang sedang menantang bangsa kita, yaitu mengikuti jejak umat Nabi Yunus sebelum kita melakukan usaha-usaha yang lain. Kita, terutama para pemuka bangsa, tidak perlu malu melakukan sesuatu yang terpuji. Mari kita ajak bangsa ini untuk mengakui kesalahan kita di hadapan Allah karena kita semua, baik pemimpin maupun rakyat, adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Mari kita contoh umat Nabi Yunus yang telah mencontohkan sikap terbuka di dalam hidup ini. Insya Allah kita akan menjadi bangsa yang menang, selamat, dan bahagia.

Kesempatan Emas

Kesempatan Emas

Oleh Azyumardi Azra

Jarang-jarang Indonesia mendapat tempat dalam laporan khusus secara ekstensif dan positif dari media internasional. Memang, seperti dikutip pada paragraf awal laporan khusus majalah The Economist (12-18 September 2009), tentang Indonesia sepanjang 18 halaman, negara-negara tertentu baru bisa menjadi headlines jika ada 'berita jelek' tentang negara-negara tersebut. Dan, Indonesia menjadi berita internasional karena berita-berita jelek tersebut, khususnya dalam 10 tahun terakhir; sejak dari kekerasan antaretnis dan agama, krisis ekonomi sejak akhir 1997 yang memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri dari kekuasaan pada Mei 1998, ancaman disintegrasi Indonesia, pengeboman Bali 2002 dan serangan-serangan bom 'bunuh' lainnya, tsunami Aceh akhir 2004, dan seterusnya.

Namun, sesungguhnya Indonesia tidak sejelek pemberitaan semacam itu. Indonesia yang disebut The Economist pernah berada pada tubir 'kiamat' 10 tahun silam, kini memiliki golden chance (kesempatan emas) untuk menjadi jauh lebih baik. Kesempatan emas itu tentu saja kembali berada di tangan Presiden SBY yang bakal dilantik kembali untuk masa jabatan kedua pada 20 Oktober 2009. Memang laporan khusus The Economist ini memberikan banyak kredit kepada Presiden SBY yang dalam masa pemerintahan pertamanya berhasil menciptakan stabilitas politik yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi.

Kesempatan emas. Ada empat alasan besar The Economist untuk optimis terhadap masa depan Indonesia lebih baik. Walaupun, hemat saya, alasan-alasan tersebut dapat dipersoalkan. Pertama, menurut The Economist, dalam beberapa tahun ke depan, kombinasi pertumbuhan usia muda dengan menurunnya angka kelahiran, Indonesia bakal mengalami peningkatan rasio penduduk usia kerja. Bahkan, tahun depan lebih dari separuh penduduk Indonesia akan berada di wilayah urban, yang berarti meningkatnya konsumsi--sumber pokok pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Alasan pertama ini, hemat saya, questionable. Alasannya sederhana. Ledakan penduduk usia kerja sampai sekarang belum bisa diimbangi dengan pembukaan lapangan kerja baru. Karena itu, ledakan usia kerja berarti meningkatnya pengangguran penduduk usia produktif, yang menimbulkan berbagai konsekuensi sosial dan politik. Karena itu, kalau alasan ini dapat diterima, tidak ada alternatif lain kecuali peningkatan lapangan kerja secara besar-besaran. Dan, ini berarti harus ada investasi besar-besaran pula, baik dengan modal dalam negeri sendiri maupun luar negeri. Dan kita tahu, belum terlihat tanda-tanda meyakinkan bagi investasi besar-besaran tersebut.

Alasan kedua The Economist untuk optimis adalah pengendalian fiskal dalam beberapa tahun terakhir sehingga pemerintah memiliki dana memadai untuk memperbaiki infrastruktur dan fasilitas publik yang telantar. Lagi-lagi alasan ini dapat pula dipertanyakan banyak orang. Hingga sekarang ini, pemerintah masih menghadapi berbagai masalah dalam pengembangan infrastruktur. Ketersediaan dana yang memadai tetap menjadi hambatan. Selain itu, tidak mudah merealisasikan pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, misalnya, yang menghadapi kesulitan besar dalam pembebasan lahan karena inflasi harga oleh masyarakat sendiri. Akibatnya, target-target untuk pembangunan jalan raya jauh daripada tercapai sampai sekarang. Karena itu, agar pembangunan infrastruktur yang sangat vital bagi peningkatan investasi dapat terlaksana dengan baik, pemerintah perlu melakukan terobosan-terobosan kebijakan drastis.

Alasan ketiga menurut The Economist adalah terpilihnya SBY kembali sebagai presiden memberikan mandat lebih besar baginya untuk melaksanakan berbagai penataan kembali (reforms) yang dibutuhkan Indonesia. Walaupun terpilihnya dia kembali dalam catatan The Economist terkait banyak dengan reputasinya sebagai pejuang dalam pemberantasan korupsi dan juga karena kebijakannya membagi-bagikan uang kontan [BLT] kepada orang-orang miskin. Hemat saya, alasan ketiga ini juga problematis. Memang Presiden SBY kini memiliki mandat dan bahkan kekuatan politik sangat besar, bukan hanya sebagai eksekutif, tetapi juga di lembaga legislatif; tetapi terdapat peningkatan pesimisme kalangan publik terhadap pemberantasan korupsi, misalnya, karena kini sedang terjadi 'penyunatan' otoritas KPK melalui berbagai cara.

Alasan keempat untuk optimis adalah bakal berlanjutnya stabilitas politik. Tetapi, The Economist juga mencatat masih terdapatnya banyak kelemahan dalam sistem elektoral dan kesenjangan-kesenjangan dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif yang bersumber dari Konstitusi [UUD 1945 dengan segala amandemennya]. Bahkan dalam pandangan majalah ini, demokratisasi di Indonesia terlihat kacau, dan karena itu memerlukan pembenahan-pembenahan seperlunya.

Memang terdapat cukup alasan bagi berlanjutnya stabilitas politik Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Dan, Presiden SBY sendiri kelihatan berusaha memastikan hal tersebut dengan berupaya membangun koalisi yang 'sempurna' dan 'menyeluruh', baik pada lembaga legislatif maupun eksekutif. Yang terakhir ini, misalnya, dengan menyertakan berbagai kekuatan politik termasuk yang pernah berseberangan dengan dia ke dalam kabinet. Dengan begitu, keriuhan politik yang dapat mengancam stabilitas politik dapat diminimalisasi.

Optimisme The Economist yang dalam hal-hal tertentu questionable itu, bagaimanapun boleh jadi merupakan pelipur lara bagi Indonesia. Optimisme penting bagi bangsa ini. Bahwa optimisme itu mengandung masalah-masalah tertentu, perlulah antisipasi menyelesaikannya, supaya optimisme itu tidak ilusif; dan kesempatan emas itu lepas dari genggaman.

Keturunan Endog

Para Keturunan Endog
WARNA merah-putih mulai mendominasi jalanan Karang Kadempel. Malam harinya, binar cahaya lampu penjor bak ribuan kunang-kunang, seperti tradisi pada umumnya demi mengenang jasa pendiri negeri Ngamarta. Di taman kota diadakan lomba memindahkan kelereng untuk Taman Kanak-Kanak sak Karang Kadempel.

''Al Bagio, ya, ya, ayo dikit lagi. Eits, tahan keseimbangan, horeee,'' teriak Dhe­nok Ceplis melihat putranya menyentuh garis finis. Dhenok Ceplis langsung mengulurkan sebotol susu segar kepada Al Bagio. Sedikit agak gimanaaaa gitchuu, Dhenok Ceplis yang bersolek perlen­te menerangkan mahalnya harga susu Nutrigong yang diminum Al Bagio kepada mereka yang mendekat.

Dari lintasan yang lain, juga terdengar teriakan histeris. Tampak tubuh Al Khoir di-pondong-pondong. ''Ya, begini. Anak hasil minum ASI. Susunya buat anaknya, lha kalungnya yo buat father-nya,'' ujar Roro Iteung sembari memeluk anaknya. Ada senyum sinis di bibirnya yang diarahkan kepada Dhenok Ceplis.

Akhirnya, keduanya dipertemukan dalam laga final. Tampak, bendera start sudah dikibaskan. Di tiga meter pertama, posisi mereka seimbang dan saling kejar. Setelahnya, tubuh Al Khoir terlihat ringan melesat cepat. Wajah Dhenok Ceplis terlihat tegang, coz Al Bagio terlihat capai.

Tiba-tiba, botol susu kempong kesampluk dan nggelontor masuk arena. Al Khoir yang sedang konsentrasi tidak melihat arah datangnya botol itu. Mak gedabruz, bibir Al Khoir mencium tanah, sedikit ada darah.

Al Bagio, yang melesat di belakangnya juga tak bisa mengerem­ men­­da­­dak. Senggolan kecil terjadi, kedua tubuh itu kruntelan. Debu be­ter­bang­an, sedikit mengganggu pemandangan. Samar, keduanya se­­­perti ter­l­ihat adu jotos. Penonton bersorak sorai, keadaan memanas dan full emosi.

Kerusuhan menjalar ke Roro Iteung dan Dhenok Ceplis. Mereka saling jambak-jambakan, saling uleng-ulengan. Penonton bertambah riuh. Keadaan makin tidak terkendali.

Dari jauh, Bagong dan Gareng berlari mendekat. Susah payah keduanya memisahkan istri-istri mereka. Satu-dua padu masih terjadi. Saling ejek masih sesekali meluncur. Tapi, Roro Iteung versus Dhenok Ceplis berhasil dilerai. Al Bagio versus Al Khoir pun rampung. Tapi, alangkah kagetnya Bagong melihat di sekitar mata Al Bagio muncul lebam hitam. Gareng pun mendapati mata putranya kero.

Bagong dan Gareng lalu saling tatap, keduanya tegang menahan emosi. Bagong keras menuding tepat di wajah Gareng, ''Kamu!! " ujarnya. Ucapat itu cepat dipotong Gareng, ''Wookey kita cari tahu, bagus mana susu kaleng atau ASI, daripada udregan!"

Keduanya berjalan ke arah rumah Semar. Baru separo perjalanan, mereka bersua Togog. Menurutnya, susu kaleng dan ASI sama-sama bagus. ASI mengandung formula untuk kekebalan tubuh sedang susu formula atau kaleng adalah alternatif yang juga mengandung vitamin tambahan. ''Kalau tentang luka Bagio dan Khoir, divisum aja gih biar lebih jelas," tambah Togog.

Tapi mereka tetap berjalan ke kediaman Semar sebelum ke rumah sakit. Di halaman depan, ibu Kanastren menunjukkan Semar sedang tafakur di musala embun. Setelah Semar enjoy bersila dan mereka duduk mengelilinginya, Gareng dan Bagong saling bercerita menurut versinya masing-masing. ''Gak bisa, tak ada jalan lain! Meja hijau! Biar mampus sekalian," emosi Bagong. Gareng hanya memandang tak berkomentar.

Semar hanya tersenyum simpul. Masih dari musala embun, Semar minta tolong Ibu Kanastren untuk mengontak Petruk. ''Kalian semua tenang, gak usah emosi. Liat aja nanti," ujarnya.

Selang beberapa menit Petruk datang lengkap dengan peranti video shooting-nya. Dari tampilan di layar tivi jelas terlihat, Al Bagio dan Al Khoir tidak saling adu jotos. Al Khoir sekuat tenaga menahan laju tubuh mereka yang nglundung-nglundung. Tangan Al Bagio juga melindungi kepala Al Khoir dari benturan batu. Malu-malu Gareng dan Bagong saling lirik, tatapan mereka bertemu dan senyum pun merekah di bibir keduanya.

Mengenai keanehan fisik, Semar menerangkan dulu ia memondokkan Bagong dan Gareng pada seorang Begawan Sakti. Gareng kalau mengikuti pelajaran sering acuh dan hanya melihat dengan ujung mata. Bagong yang senangnya ngantuk, untuk mengikuti pelajaran sering menahan biji mata dengan batang-batang korek api. Sang Begawan Sakti, mengutuk keduanya dengan kondisi Gareng matanya kero dan Bagong matanya melolo mau meloncat keluar. ''Sebenarnya, dulu kalian nguantenge rek,'' gurau Semar.

"But btw, yen susu, baiknya susu kaleng apa ASI, Mo?" potong Gareng di tengah riuhnya tertawa. Suasana jadi hening, semua memandang ke Semar. Satu dua titik air merembes dari mata Semar yang melangkah memasuki kamarnya. Semua diam menunggu di depan kamar.

Dari dalam kamar, dengan suara parau, Semar berujar, untuk keadaan darurat, susu kaleng juga baik. Tetapi Al Khoir dan Al Bagio beruntung bisa menikmati ASI yang tidak sekadar menyehatkan. Juga memunculkan benih-benih cinta kasih dan membangun kedekatan ibu-anak. ''Sementara aku yang terlahir dari putih telur, tidak pernah sedikit pun nyecep susu apalagi susu Ibu. Ya air susuku, air susu Ibu Pertiwi,'' ujar Semar.

Denda dan Qadha' Puasa bagi Wanita

Denda dan Qadha' Puasa bagi Wanita


Bila lupa, tidak disengaja atau takut dimarahi suami, tidak wajib membayar kifarat dan meng-qadha' puasa.

Halangan puasa Ramadhan bagi wanita memang beragam. Baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Di antara halangan yang tidak disengaja adalah datang bulan atau haid, melahirkan anak, menyusui anak dan lainnya. Tapi, ada pula halangan yang disengaja dilakukan saat puasa di bulan suci.

Misalnya bersetubuh di siang hari dengan suaminya. Ada pandangan bahwa baik si lelaki dan wanita wajib meng-qadha' puasanya dan membayar kifarat (denda) apabila rela dan menghendaki persetubuhan. Meski demikian, kalau tidak disengaja, atau dipaksa, atau karena takut suaminya marah, atau yang lainnya, maka qadha' dan kifarat tidaklah wajib bagi si wanita.

Dalam kaitan ini, masih ada beda pendapat di kalangan ulama dan ahli agama. Imam Syafi'i menyatakan, wanita tidak wajib membayar kifarat sama sekali, meski ia melakukan persetubuhan dengan kehendak sendiri atau dipaksa. Dia hanya wajib meng-qadha saja.

Hal ini dipertegas oleh Imam Nawawi, yang menyimpulkan bahwa kifarat lebih tepat dikenakan pada lelaki, sebanyak satu kali dan untuk dirinya saja. Di sini, tidak ada kewajiban kifarat bagi wanita. Imam Nawawi menjelaskan, ''Wanita memang tidak wajib membayar kifarat, karena kifarat itu hak harta khusus karena persetubuhan, yang tentunya menjadi kewajiban lelaki seperti halnya maskawin, bukan kewajiban wanita.''

Pada bagian lain, Abu Daud menceritakan, Imam Ahmad pernah ditanya tentang seseorang yang bersetubuh dengan istrinya di siang hari di bulan Ramadhan, apakah sang istri wajib membayar kifarat? ''Kami tak pernah mendengar bahwa wanita itu wajib membayar kifarat,'' demikian jawab Imam Ahmad.

Sementara Ibrahim Muhammad al Jamal dalam buku Fiqih Wanita berpendapat bila wanita juga menghendaki persetubuhan itu, maka wajib baginya meng-qadha puasa sekaligus membayar kifarat. Berbeda misalnya jika ia lupa, tidak disengaja atau takut dimarahi suaminya, maka qadha pun tidak wajib.

Lain halnya dengan hukum makan dan minum dengan sengaja di siang hari saat bulan Ramadhan. Semua bersepakat. Hal yang demikian, baik wanita maupun lelaki, bukan hanya wajib meng-qadha' tapi juga membayar kifarat. Lain halnya dengan makan dan minum yang tidak disengaja, maka tidak wajib meng-qadha' dan membayar kifarat.

Dalam pandangan para ulama mazhab Hanafi, semua makanan dan obat-obatan dan apa saja yang berguna bagi tubuh, disukai oleh perasaan dan dapat memenuhi syahwat perut, bila dimakan dengan sengaja, bukan karena lupa atau dipaksa, semua itu mewajibkan qadha' dan kifarat.

Puasa dua bulan

Bahkan, para ulama Maliki mengatakan, kifarat wajib dilakukan oleh siapa pun yang sengaja membatalkan puasanya dengan salah satu sebab tadi. Pun jika batalnya itu karena keluar air madzi dengan sengaja, sekalipun tidak wajib membayar kifarat bila keluarnya itu karena lupa atau tak sengaja.

Kifarat di sini adalah hukuman agama yang telah ditentukan Allah SWT, dan diwajibkan atas orang yang melakukan beberapa jenis dosa seperti pembunuhan, melanggar sumpah dan puasa yang dibatalkan secara sengaja, dengan bersetubuh umpamanya.

Ada beberapa ketentuan. Antara lain dengan memerdekakan budak terlebih dahulu. Bila tidak mampu, maka dengan berpuasa dua bulan berturut-turut. Dan bila tidak mampu juga, memberi makan 60 orang miskin berupa makanan yang biasa diberikan kepada keluarga sendiri.

Menurut Ibrahim Muhammad Al-Jamal, untuk memerdekakan budak sudah bukan zamannya lagi. Jadi lebih tepat melaksanakan urutan berikutnya, yaitu puasa dua bulan berturut-turut atau bila tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin.Sementara qadha' berarti berpuasa pada hari lain di luar bulan Ramadhan, sebagai ganti dari puasa yang batal di bulan Ramadhan.

Dari penjelasan Saleh Al-Fauzan dalam buku Fiqih Sehari-hari, barangsiapa tidak berpuasa atau membatalkan puasanya di bulan Ramadhan, baik karena dibenarkan syara' atau tidak, seperti bersetubuh atau yang lainnya, maka ia wajib meng-qadha'nya.Hal itu sesuai firman Allah SWT surat Al-Baqarah [2] ayat 184, yang artinya, ''Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain''
. n c81

Manusia Bertelur (kisah Abu Nawas)


PDF Print E-mail

Sudah bertahun-tahun Baginda Raja Harun Al Rasyid ingin mengalahkan Abu Nawas. Namun perangkap-perangkap yang selama ini dibuat semua bisa diatasi dengan cara-cara yang cemerlang oleh Abu Nawas. Baginda Raja tidak putus asa. Masih ada puluhan jaring muslihat untuk menjerat Abu Nawas.

Baginda Raja beserta para menteri sering mengunjungi tempat pemandian air hangat yang hanya dikunjungi para pangeran, bangsawan dan orang-orang terkenal. Suatu sore yang cerah ketika Baginda Raja beserta para menterinya berendam di kolam, beliau berkata kepada para menteri, "Aku punya akal untuk menjebak Abu Nawas."

"Apakah itu wahai Paduka yang mulia ?" tanya salah seorang menteri.

"Kalian tak usah tahu dulu. Aku hanya menghendaki kalian datang lebih dini besok sore. Jangan lupa datanglah besok sebelum Abu Nawas datang karena aku akan mengundangnya untuk mandi bersama-sama kita." kata Baginda Raja memberi pengarahan. Baginda Raja memang sengaja tidak menyebutkan tipuan
apa yang akan digelar besok.

Abu Nawas diundang untuk mandi bersama Baginda Raja dan para menteri di pemandian air hangat yang terkenal itu. Seperti yang telah direncanakan, Baginda Raja dan para meriteri sudah datang lebih dahulu. Baginda membawa sembilan belas butir telur ayam. Delapan belas butir dibagikan kepada para menterinya. Satu butir untuk dirinya sendiri. Kemudian Baginda memberi pengarahan singkat tentang apa yang telah direncanakan untuk menjebak Abu Nawas.

Ketika Abu Nawas datang, Baginda Raja beserta para menteri sudah berendam di kolam. Abu Nawas melepas pakaian dan langsung ikut berendam. Abu Nawas harap-harap cemas. Kira-kira permainan apa lagi yang akan dihadapi. Mungkin permainan kali ini lebih berat karena Baginda Raja tidak memberi tenggang
waktu untuk berpikir.

Tiba-tiba Baginda Raja membuyarkan lamunan Abu Nawas. Beliau berkata, "Hai Abu Nawas, aku mengundangmu mandi bersama karena ingin mengajak engkau ikut dalam permainan kami"

"Permainan apakah itu Paduka yang mulia ?" tanya Abu Nawas belum mengerti.

"Kita sekali-kali melakukan sesuatu yang secara alami hanya bisa dilakukan oleh binatang. Sebagai manusia kita mesti bisa dengan cara kita masing-masing." kata Baginda sambil tersenyum.

"Hamba belum mengerti Baginda yang mulia." kata Abu Nawas agak ketakutan.

"Masing-masing dari kita harus bisa bertelur seperti ayam dan barang siapa yang tidak bisa bertelur maka ia harus dihukum!" kata Baginda.

Abu Nawas tidak berkata apa-apa. Wajahnya nampak murung. la semakin yakin dirinya tak akan bisa lolos dari lubang jebakan Baginda dengan mudah. Melihat wajah Abu Nawas murung, wajah Baginda Raja semakin berseri-seri.

"Nan sekarang apalagi yang kita tunggu. Kita menyelam lalu naik ke atas sambil menunjukkan telur kita masing-masing." perintah Baginda Raja.

Baginda Raja dan para menteri mulai menyelam, kemudian naik ke atas satu persatu dengan menanting sebutir telur ayam. Abu Nawas masih di dalam kolam. ia tentu saja tidak sempat mempersiapkan telur karena ia memang tidak tahu kalau ia diharuskan bertelur seperti ayam. Kini Abu Nawas tahu kalau Baginda Raja dan para menteri telah mempersiapkan telur masing-masing satu butir. Karena belum ada seorang manusia pun yang bisa bertelur dan tidak akan pernah ada yang bisa.

Karena dadanya mulai terasa sesak. Abu Nawas cepat-cepat muncul ke permukaan kemudian naik ke atas. Baginda Raja langsung mendekati Abu Nawas.

Abu Nawas nampak tenang, bahkan ia berlakau aneh, tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara seperti ayam jantan berkokok, keras sekali sehingga Baginda dan para menterinya merasa heran.

"Ampun Tuanku yang mulia. Hamba tidak bisa bertelur seperti Baginda dan para menteri." kata Abu Nawas sambil membungkuk hormat.

"Kalau begitu engkau harus dihukum." kata Baginda bangga.

"Tunggu dulu wahai Tuanku yang mulia." kata Abu Nawas memohon.

"Apalagi hai Abu Nawas." kata Baginda tidak sabar.

"Paduka yang mulia, sebelumnya ijinkan hamba membela diri. Sebenarnya kalau hamba mau bertelur, hamba tentu mampu. Tetapi hamba merasa menjadi ayam jantan maka hamba tidak bertelur. Hanya ayam betina saja yang bisa bertelur. Kuk kuru yuuuuuk...!" kata Abu Nawas dengan membusungkan dada.

Baginda Raja tidak bisa berkata apa-apa. Wajah Baginda dan para menteri yang semula cerah penuh kemenangan kini mendadak berubah menjadi merah padam karena malu. Sebab mereka dianggap ayam betina.

Abu Nawas memang licin, malah kini lebih licin dari pada belut. Karena merasa malu, Baginda Raja Harun Al Rasyid dan para menteri segera berpakaian dan kembali ke istana tanpa mengucapkan sapatah kata pun.

Memang Abu Nawas yang tampaknya blo'on itu sebenarnya diakui oleh para ilmuwan sebagai ahli mantiq atau ilmu logika. Gampang saja baginya untuk membolak-balikkan dan mempermainkan kata-kata guna menjatuhkan mental lawan-lawannya.

Abu Nawas Mati (Kisah Abu Nawas)

Baginda Raja pulang ke istana dan langsung memerintahkan para prajuritnya menangkap Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas telah hilang entah kemana karena ia tahu sedang diburu para prajurit kerajaan. Dan setelah ia tahu para prajurit kerajaan sudah meninggalkan rumahnya, Abu Nawas baru berani pulang ke rumah.

"Suamiku, para prajurit kerajaan tadi pagi mencarimu."

"Ya istriku, ini urusan gawat. Aku baru saja menjual Sultan Harun Al Rasyid menjadi budak."

"Apa?"

"Raja kujadikan budak!"

"Kenapa kau lakukan itu suamiku."

"Supaya dia tahu di negerinya ada praktek jual beli budak. Dan jadi budak itu sengsara."

"Sebenarnya maksudmu baik, tapi Baginda pasti marah. Buktinya para prajurit diperintahkan untuk menangkapmu."

"Menurutmu apa yang akan dilakukan Sultan Harun Al Rasyid kepadaku."

"Pasti kau akan dihukum berat."

"Gawat, aku akan mengerahkan ilmu yang kusimpan,"

Abu Nawas masuk ke dalam, ia mengambil air wudhu lalu mendirikan shalat dua rakaat. Lalu berpesan kepada istrinya apa yang harus dikatakan bila Baginda datang.

Tidak berapa alama kemudian tetangga Abu Nawas geger, karena istri Abu Nawas menjerit-jerit.

"Ada apa?" tanya tetangga Abu Nawas sambil tergopoh-gopoh.

"Huuuuuu .... suamiku mati....!"

"Hah! Abu Nawas mati?"

"lyaaaa....!"

Kini kabar kematian Abu Nawas tersebar ke seluruh pelosok negeri. Baginda terkejut. Kemarahan dan kegeraman beliau agak susut mengingat Abu Nawas adalah orang yang paling pintar menyenangkan dan menghibur Baginda Raja.

Baginda Raja beserta beberapa pengawai beserta seorang tabib (dokter) istana, segera menuju rumah Abu Nawas. Tabib segera memeriksa Abu Nawas. Sesaat kemudian ia memberi laporan kepada Baginda bahwa Abu Nawas memang telah mati beberapa jam yang lalu.

Setelah melihat sendiri tubuh Abu Nawas terbujur kaku tak berdaya, Baginda Raja marasa terharu dan meneteskan air mata. Beliau bertanya kepada istri Abu Nawas.

"Adakah pesan terakhir Abu Nawas untukku?"

"Ada Paduka yang mulia." kata istri Abu Nawas sambil menangis.

"Katakanlah." kata Baginda Raja.

"Suami hamba, Abu Nawas, memohon sudilah kiranya Baginda Raja mengampuni semua kesalahannya dunia akhirat di depan rakyat." kata istri Abu Nawas terbata-bata.

"Baiklah kalau itu permintaan Abu Nawas." kata Baginda Raja menyanggupi.

Jenazah Abu Nawas diusung di atas keranda. Kemudian Baginda Raja mengumpulkan rakyatnya di tanah lapang. Beliau berkata, "Wahai rakyatku, dengarkanlah bahwa hari ini aku, Sultan Harun Al Rasyid telah memaafkan segala kesalahan Abu Nawas yang telah diperbuat terhadap diriku dari dunia hingga akhirat. Dan kalianlah sebagai saksinya."

Tiba-tiba dari dalam keranda yang terbungkus kain hijau terdengar suara keras, "Syukuuuuuuuur ...... !"

Seketika pengusung jenazah ketakukan, apalagi melihat Abu Nawas bangkit berdiri seperti mayat hidup. Seketika rakyat yang berkumpul lari tunggang langgang, bertubrukan dan banyak yang jatuh terkilir. Abu Nawas sendiri segera berjalan ke hadapan Baginda. Pakaiannya yang putih-putih bikin Baginda keder
juga.

"Kau... kau.... sebenarnya mayat hidup atau memang kau hidup lagi?" tanya Baginda dengan gemetar.

"Hamba masih hidup Tuanku. Hamba mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas pengampunan Tuanku."

"Jadi kau masih hidup?"

"Ya, Baginda. Segar bugar, buktinya kini hamba merasa lapar dan ingin segera pulang."

"Kurang ajar! Ilmu apa yang kau pakai Abu Nawas?

"Ilmu dari mahaguru sufi guru hamba yang sudah meninggal dunia..."

"Ajarkan ilmu itu kepadaku..."

"Tidak mungkin Baginda. Hanya guru hamba yang mampu melakukannya. Hamba tidak bisa mengajarkannya sendiri."

"Dasar pelit !" Baginda menggerutu kecewa.

Idul Fitri Bersama Si Miskin

Idul Fitri Bersama Si Miskin

Oleh Zuly Qodir

Umat Islam yang menjalankan puasa Ramadhan akan merayakan Idul Fitri setelah menahan nafsu serakah, nafsu amarah, dan nafsu berlebihan.

Tiga hal itu merupakan nafsu Rahwana. Nafsu ini dapat menjerumuskan umat yang berpuasa sehingga banyak orang berpuasa hanya mendapat lapar dan haus, tetapi tidak mendapat pahala atas penderitaan yang dialami sebulan penuh.

Memaafkan

Dalam Idul Fitri, hal yang tidak mungkin ditinggalkan adalah saling memaafkan. Memaafkan adalah ajaran paling dasar dari Idul Fitri, sebab hanya dengan saling memaafkan seseorang yang telah berpuasa akan mendapat pahala dari Tuhan untuk tahun ini dan tahun mendatang.

Inilah ajaran yang memenuhi hakikat kemanusiaan sebab tidak banyak orang bersedia memaafkan dan dimaafkan. Memaafkan dan dimaafkan merupakan pekerjaan amat berat dan membutuhkan ketegaran jiwa serta nurani. Hanya orang yang bernurani dan berjiwa bersih yang bersedia memaafkan dan dimaafkan atas segala kekurangan dan kesalahan yang telah dibuatnya.

Karena itu, memaafkan akan dihubungkan dengan ucapan, sikap, dan tindakan kita kepada orang lain dan orang lain kepada kita.

Di sinilah sebenarnya esensi Idul Fitri yang selalu dirayakan dengan semangat oleh umat Islam, yakni saling memaafkan atas sesama manusia. Sebab, tidak ada manusia sempurna dari salah dan kekurangan, demikian hadis Nabi mengajarkan kepada kita.

Kita mungkin amat kecewa dengan hasil pemilu legislatif karena ada indikasi kecurangan dan aneka kesalahan yang dilakukan beberapa pihak. Akibatnya, kita (caleg) gagal atau sudah lolos tetapi ada kabar hendak digagalkan karena simpang siurnya peraturan. Semua itu membuat caleg bukan saja marah, tetapi juga mengumpat-umpat.

Fenomena yang juga mungkin menjengkelkan adalah adanya berbagai dugaan atas kecurangan dalam pemilu presiden sehingga harus berlarut-larut menunggu hasil resmi KPU dan Mahkamah Konstitusi. Semua ini tentu menjengkelkan meski akhirnya kemenangan diraih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Di tengah kemarahan itu, umat Islam disambut puasa Ramadhan, sebagai bulan pengendalian tiga nafsu (amarah, serakah, dan berlebihan), sehingga kita diharapkan menjadi manusia yang benar-benar saleh, bukan hanya dalam ucapan, tetapi dalam sikap dan tindakan.

Rela menerima hasil pemilu legislatif maupun presiden adalah bentuk aktualisasi "pengendalian nafsu".

Kaum miskin

Hal lain yang amat penting dalam merayakan Idul Fitri adalah ajaran Tuhan tentang pentingnya memerhatikan kaum miskin. Oleh sebab pentingnya Idul Fitri yang dirayakan kaum Muslim yang telah berpuasa sebulan penuh, Nabi berpesan agar pada hari Idul Fitri jangan ada orang miskin tak bisa menikmati hari kesenangan dan kemenangan orang berpuasa.

Zakat fitrah adalah salah satu ajaran yang diperuntukkan bagi kaum miskin (si miskin) agar mereka bersama orang lain dapat menikmati Idul Fitri meski sehari-hari dalam kekurangan. Minimal dalam hari-hari Idul Fitri si miskin tak menampakkan sebagai kaum miskin.

Terhadap kaum miskin, pesan mendasar tertulis, "Tuhan akan bersemayam di rumah si miskin! Tuhan tidak akan bersemayam di rumah si kaya tetapi kikir atau si kaya tetapi angkuh. Namun, Tuhan akan bersemayam di rumah si miskin meski dia tidak saleh secara formal".

Dengan demikian, betapa berartinya si miskin di muka bumi dan dalam ajaran agama Ibrahim dan Nabi Muhammad sehingga harus diperhatikan saksama. Ingat pula pesan Tuhan, orang yang beribadah secara formal (rajin shalat tetapi melupakan kaum miskin) akan celaka alias tidak bermanfaat shalatnya. Shalat hanya pelengkap penderita, tetapi sama sekali tak bernilai.

Karena itu, kaum miskin menempati kedudukan amat mulia dalam agama Ibrahim dan Nabi Muhammad, bukan karena harus mendapat sedekah, tetapi harus diperhatikan oleh mereka yang tidak miskin secara material dan intelektual.

Pesan Tuhan yang lain, kemiskinan akan menyebabkan orang tak ingat akan Tuhan (baca: ingkar) dan yang pertama kali disalahkan adalah mereka yang tidak miskin.

Dengan memerhatikan memaafkan dan si miskin, Idul Fitri akan kian bermakna dan bernilai humanis yang mendalam saat dapat menghadirkan manusia-manusia saleh yang bersedia memaafkan atas sesama (bukan selalu mencari-cari kesalahan dan kekurangan) dan memerhatikan si miskin.

Jika dua hal ini dikerjakan, Idul Fitri akan benar-benar membawa kita pada kesucian diri, jiwa, pikiran, dan tindakan atas segala perbuatan yang telah dilakukan setahun penuh dengan memaafkan dan menyantuni si miskin.

Zuly Qodir Mengajar di Pascasarjana UGM; Anggota Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah

Membela Tuhan

Membela Tuhan

Oleh Azyumardi Azra

Apakah Tuhan perlu dibela? Bagi banyak orang beriman dalam agama mana pun, Tuhan mestilah dibela meski Tuhan sendiri, karena Ia adalah Zat Yang Mahakuasa, sebenarnya tidak perlu dibela siapa pun. Tuhan Mahakuasa dengan sendiriNya. Namun, Karen Armstrong lewat karya terbarunya The Case for God: What Religion Really Means (London: The Bodley Head, 2009) juga membela Tuhan dengan melihat apa sebenarnya makna agama.

Armstrong melalui karya ini membela Tuhan dan agama, terutama dari dekapan kaum fundamentalis dan skeptisisme orang-orang ateis. Hemat saya, pembelaan tersebut sangat tepat waktu ketika di berbagai penjuru dunia, banyak kalangan umat beragama mengalami antusiasme keagamaan menyala-nyala yang menimbulkan berbagai dampak politik, sosial, dan ekonomi. Pada saat yang sama, skeptisisme dan nihilisme terhadap Tuhan dan agama juga meningkat sebagai respons terhadap perkembangan keagamaan semacam itu.

Agama dan bahkan Tuhan memang pernah kehilangan tempatnya dalam masyarakat Eropa sejak 1960-an. Teolog Amerika Harvey Cox pada 1965 menerbitkan buku The Secular City yang menyimpulkan bahwa Tuhan telah mati. Karena itu, agama harus berpusat pada kemanusiaan daripada ketuhanan. Sebagian kalangan Barat melihat perkembangan ini sebagai 'gelombang baru' sekularisme yang merupakan puncak dari 'Pencerahan' (Enlightenment); sementara sebagian lain memandangnya sebagai awal dari masa 'Pascamodernitas'.

Namun, sejak akhir 1970-an, gelombang berbalik; di mana-mana terjadi kebangkitan kembali agama yang disebut Armstrong sangat dramatis, termasuk ketika Ayatullah Khomeini yang sebelumnya tidak dikenal berhasil menumbangkan Shah Iran, Muhammad Reza Pahlevi, pada 1978. Sementara itu, di Israel, bentuk baru Zionisme keagamaan sangat agresif menemukan momentum di kancah politik Israel. Sedangkan, di AS, pendeta Jerry Falwell mendirikan Moral Majority pada 1979, mendesak kaum fundamentalis Protestan untuk lebih terlibat dalam politik guna menghadapi tantangan dan agenda humanisme sekuler.

Fundamentalisme agama dalam pandangan Armstrong memunculkan religiositas militan, yang dapat tumbuh di lingkungan umat beragama di negara bangsa mana pun: bisa di negara-negara Barat yang memiliki riwayat sekularisme yang panjang dan bisa juga di negara-negara kawasan lain yang secara ketat memisahkan agama dan politik, namun pada saat yang sama mengadopsi ideologi-ideologi sekuler yang bermusuhan dengan agama. Namun, di tengah meningkatnya fundamentalisme agama yang membuat negara dan rezim-rezim penguasa terdesak, kedua belah pihak--kaum fundamentalis dan penguasa sekuler--menyeret agama ke pangkuan masing-masing. Kedua pihak ini terlibat dalam kontestasi yang sangat intens dalam memperebutkan simbolisme agama dan bahkan Tuhan.

Meski negara dan penguasa mencoba mengakomodasi agama, ini belum cukup bagi kaum fundamentalis yang tetap merasa terancam dominasi dan hegemoni negara. Karena itu, kaum fundamentalis, seperti fundamentalis Prostestan di AS, cenderung mengambil sikap kian keras dalam berbagai kehidupan sosial keagamaan yang mereka anggap telah bangkrut sebagai akibat negara dan pemerintahan sekuler. Kaum fundamentalis Protestan meyakini, doktrin keimanan mereka yang paling benar, yang merupakan ekspresi final kebenaran, dan yang harus ditegakkan dengan cara apa pun, termasuk kekerasan dan terorisme.

Namun, Armstrong mengingatkan, sikap banyak orang Barat yang menganggap Islam secara inheren fundamentalis tidak cocok dengan demokrasi dan kebebasan (freedom) dan secara kronis kecanduan kekerasan itu adalah keliru. Islam merupakan agama terakhir dari tiga monoteis yang terjangkit fundamentalisme, persisnya setelah kekalahan negara-negara Arab dalam perang enam hari melawan Israel pada 1967. Kebijakan negara-negara Barat yang tidak adil dengan segera mempercepat pertumbuhan fundamentalisme Islam di Timur Tengah. Konflik dan kekerasan yang berlanjut di Timur Tengah hanya membuat fundamentalisme tetap bertahan, bahkan bisa menemukan momentumnya dari waktu ke waktu.

Apa saran Armstrong menghadapi gejala fundamentalisme di kalangan kaum Muslim? Menurut dia, melakukan generalisasi dan kutukan sewenang-wenang terhadap Islam tidak akan memperbaiki keadaan. Menyalahkan Islam memang mudah dan sederhana, tetapi jelas hanya bakal kontraproduktif. Karena itu, yang perlu adalah meneliti sumber-sumber penyebab kemunculan fundamentalisme dan radikalisme. Kemudian, melakukan perubahan, misalnya dalam kebijakan luar negeri negara-negara Barat.

Dengan demikian, membela Tuhan antara lain bermakna 'membebaskan' Tuhan dari klaim-klaim kelompok keagamaan untuk kepentingan-kepentingan tertentu pula. Tuhan terlalu kompleks dan rumit untuk dikerangkakan dalam konsep, persepsi, dan pemahaman tertentu. Kita manusia, tulis Arsmtrong, hanya memiliki ide yang sangat terbatas mengenai Tuhan.

Karen Armstrong memberikan perspektif kepada kita agar melihat masalah-masalah tentang Tuhan dan agama secara lebih bijak. Bagi umat Muslim, pemahaman tentang Tuhan seyogianya berpijak pada kerangka yang telah diletakkan jumhur ulama dalam ilmu tauhid. Penafsiran spekulatif tentang Tuhan bukan hanya dapat menimbulkan perdebatan yang tidak ada ujung, seperti pernah terjadi di antara para mutakallimun, tapi itu juga membingungkan
.

Miskin karena Bersedekah?

Miskin karena Bersedekah?

Tidak ada alasan bagi orang beriman untuk enggan bersedekah. Sebab, kendati terasakan berat, bersedekah merupakan ciri paling kentara dari keimanan yang sahih. Untuk bersedekah, seseorang harus mampu mengalahkan perasaan owel (rasa kepemilikan) karena mengikhlaskan sebagian rezekinya untuk pihak lain. Jika tidak karena adanya keyakinan yang mantap atau harapan keuntungan yang kekal di akhirat kelak, sungguh seseorang akan enggan bersedekah.

Berbeda dengan amalan lain sebagai ciri keimanan yang sahih seperti shalat dan puasa. Pada kedua amalan yang lebih bersifat individual ini tidak perlu ada rasa bekorban kepemilikan, cukup dengan bekorban waktu selain kemauan. Untuk bersedekah ini sungguh terasakan lebih berat sehingga akan lebih jarang diamalkan dibandingkan dengan shalat dan puasa. Oleh karena itu, sekalipun seseorang sudah menjalankan shalat dan puasa tetap perlu dipertanyakan keimanan sahihnya jika yang bersangkutan masih tetap enggan bersedekah.

Dalam sejarah Islam kita kenal Fatimah Az-Zahra ra yang ikhlas bersedekah seuntai kalung warisan kepada musafir yang kehabisan bekal dan tiga hari tidak makan karena tidak ada lagi barang yang layak dijual. Dengan kalung tadi si musafir menjadi cukup bekal setelah menjualnya kepada Abdurrahman bin Auf ra.

Tetapi, begitu mengetahui keikhlasan Fatimah dalam bersedekah, segera Abdurrahman menghadiahkan kalung tadi kepada Nabi saw, ayahanda Fatimah, pemilik awalnya. Bisa ditebak, akhirnya kalung itu pun kembali ke tangan Fatimah setelah melewati tiga orang sebagai hadiah dan tercatat sebagai amalan sedekah.

Sungguh, bersedekah secara ikhlas akan mendapatkan ganti. Ini tidak saja ada dalam tarikh terdahulu. Dalam kehidupan nyata di lingkungan kita pun demikian halnya. Orang yang banyak bersedekah justru rezekinya melimpah, kehormatannya tinggi, dan harta kepemilikannya diakui bahkan dijaga keselamatannya oleh orang lain.

Agaknya belum pernah tercatat orang yang banyak bersedekah berakibat miskin. Sungguh dengan bersedekah kekayaannya bertambah, berlipat. Ibarat orang mendapat mangga, maka yang dimakan cukup dagingnya sedangkan bijinya harus disisihkan, ditanam hingga kelak akan menjadi pohon yang berlipat-lipat buahnya.

Untuk bersedekah, tidak ada ketentuan jenis barangnya (QS 2:267), tidak juga ditentukan jumlahnya (QS 3:134), tidak pula sasaran penggunaannya (QS 2:215). Artinya, benar-benar terserah sesuai kondisi orangnya. Itu jika bersedekah harta. Bagaimana jika kita kekurangan harta benda?

Hadis Nabi riwayat Bukhari-Muslim menyebutkan bahwa bisa juga bersedekah tanpa materi. Berzikir, berdakwah, mendamaikan perseteruan, berkata yang baik, membuang duri dari jalanan, membawakan beban orang lain, bahkan tersenyum pun bisa bermakna sedekah. Masihkah kita enggan bersedekah setelah kita mengaku beriman sahih? Wallahu a'lam bish shawab.

Lidah (Si Indra pengecap/perasa)

Siapa sih yang tidak tahu lidah, setiap orang memilikinya, tentu tahulah apa itu lidah, fungsinya untuk apa dan dimana tempatnya, bagaimana bentuknya. Ok, kali ini kita akan menambah pengetahuan tentang lidah. Kita simak yuk! Jika ada yang kurang atau pesan silakan saja berkomentar!
Seperti biasa tulisan ini disponsori oleh = dan o
Lidah (bahasa latin = lingua) tersusun atas kumpulan serabut otot lurik, yang diselaputi oleh selaput lendir dengan struktur berbeda-beda tergantung tempatnya. Pada permukaan lidah terdapat tonjolan-tonjolan kecil yang disebut papila lidah.
Beberapa bentuk papila lidah antara lain:
1. Filiformis merupakan penonjolan berbentuk seperti konus, sangat banyak dan terdapat pada seluruh permukaan lidah.
Pada epitel papila jenis ini tidak mengandung puting kecap (perasa).
2. Fungi formis merupakan penonjolan dengan tangkai kecil dan permukaan yang melebar berbentuk seperti jamur. Papila ini mengandung indera perasa pada permukaan samping atas dan terdapat di sela-sela antara papila filiformis.
3. Foliatum merupakan penonjolan yang sangat padat sepanjang pinggir samping belakang lidah. Papila ini mengandung puting perasa.
4. Sirkum valatum merupakan papila yang sangat besar dengan permukaan menutupi papila lainnya. Pada bagian belakang lidah. Banyak kelenjar serosa (von Ebner) dan mukosa yang mengalirkan sekresinya ke dalam cekungan yang megelilingi papilla ini. Puting kecap banyak disisi papila ini.

Wiremesh murah hubungi Afandi - 081233336118. - Ada juga besi beton murah.

Jasa Pembuatan Pagar, Kanopi (+Renovasi)
WA ke 081233336118