Oleh Zuly Qodir
Umat Islam yang menjalankan puasa Ramadhan akan merayakan Idul Fitri setelah menahan nafsu serakah, nafsu amarah, dan nafsu berlebihan.
Tiga hal itu merupakan nafsu Rahwana. Nafsu ini dapat menjerumuskan umat yang berpuasa sehingga banyak orang berpuasa hanya mendapat lapar dan haus, tetapi tidak mendapat pahala atas penderitaan yang dialami sebulan penuh.
Memaafkan
Dalam Idul Fitri, hal yang tidak mungkin ditinggalkan adalah saling memaafkan. Memaafkan adalah ajaran paling dasar dari Idul Fitri, sebab hanya dengan saling memaafkan seseorang yang telah berpuasa akan mendapat pahala dari Tuhan untuk tahun ini dan tahun mendatang.
Inilah ajaran yang memenuhi hakikat kemanusiaan sebab tidak banyak orang bersedia memaafkan dan dimaafkan. Memaafkan dan dimaafkan merupakan pekerjaan amat berat dan membutuhkan ketegaran jiwa serta nurani. Hanya orang yang bernurani dan berjiwa bersih yang bersedia memaafkan dan dimaafkan atas segala kekurangan dan kesalahan yang telah dibuatnya.
Karena itu, memaafkan akan dihubungkan dengan ucapan, sikap, dan tindakan kita kepada orang lain dan orang lain kepada kita.
Di sinilah sebenarnya esensi Idul Fitri yang selalu dirayakan dengan semangat oleh umat Islam, yakni saling memaafkan atas sesama manusia. Sebab, tidak ada manusia sempurna dari salah dan kekurangan, demikian hadis Nabi mengajarkan kepada kita.
Kita mungkin amat kecewa dengan hasil pemilu legislatif karena ada indikasi kecurangan dan aneka kesalahan yang dilakukan beberapa pihak. Akibatnya, kita (caleg) gagal atau sudah lolos tetapi ada kabar hendak digagalkan karena simpang siurnya peraturan. Semua itu membuat caleg bukan saja marah, tetapi juga mengumpat-umpat.
Fenomena yang juga mungkin menjengkelkan adalah adanya berbagai dugaan atas kecurangan dalam pemilu presiden sehingga harus berlarut-larut menunggu hasil resmi KPU dan Mahkamah Konstitusi. Semua ini tentu menjengkelkan meski akhirnya kemenangan diraih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Di tengah kemarahan itu, umat Islam disambut puasa Ramadhan, sebagai bulan pengendalian tiga nafsu (amarah, serakah, dan berlebihan), sehingga kita diharapkan menjadi manusia yang benar-benar saleh, bukan hanya dalam ucapan, tetapi dalam sikap dan tindakan.
Rela menerima hasil pemilu legislatif maupun presiden adalah bentuk aktualisasi "pengendalian nafsu".
Kaum miskin
Hal lain yang amat penting dalam merayakan Idul Fitri adalah ajaran Tuhan tentang pentingnya memerhatikan kaum miskin. Oleh sebab pentingnya Idul Fitri yang dirayakan kaum Muslim yang telah berpuasa sebulan penuh, Nabi berpesan agar pada hari Idul Fitri jangan ada orang miskin tak bisa menikmati hari kesenangan dan kemenangan orang berpuasa.
Zakat fitrah adalah salah satu ajaran yang diperuntukkan bagi kaum miskin (si miskin) agar mereka bersama orang lain dapat menikmati Idul Fitri meski sehari-hari dalam kekurangan. Minimal dalam hari-hari Idul Fitri si miskin tak menampakkan sebagai kaum miskin.
Terhadap kaum miskin, pesan mendasar tertulis, "Tuhan akan bersemayam di rumah si miskin! Tuhan tidak akan bersemayam di rumah si kaya tetapi kikir atau si kaya tetapi angkuh. Namun, Tuhan akan bersemayam di rumah si miskin meski dia tidak saleh secara formal".
Dengan demikian, betapa berartinya si miskin di muka bumi dan dalam ajaran agama Ibrahim dan Nabi Muhammad sehingga harus diperhatikan saksama. Ingat pula pesan Tuhan, orang yang beribadah secara formal (rajin shalat tetapi melupakan kaum miskin) akan celaka alias tidak bermanfaat shalatnya. Shalat hanya pelengkap penderita, tetapi sama sekali tak bernilai.
Karena itu, kaum miskin menempati kedudukan amat mulia dalam agama Ibrahim dan Nabi Muhammad, bukan karena harus mendapat sedekah, tetapi harus diperhatikan oleh mereka yang tidak miskin secara material dan intelektual.
Pesan Tuhan yang lain, kemiskinan akan menyebabkan orang tak ingat akan Tuhan (baca: ingkar) dan yang pertama kali disalahkan adalah mereka yang tidak miskin.
Dengan memerhatikan memaafkan dan si miskin, Idul Fitri akan kian bermakna dan bernilai humanis yang mendalam saat dapat menghadirkan manusia-manusia saleh yang bersedia memaafkan atas sesama (bukan selalu mencari-cari kesalahan dan kekurangan) dan memerhatikan si miskin.
Jika dua hal ini dikerjakan, Idul Fitri akan benar-benar membawa kita pada kesucian diri, jiwa, pikiran, dan tindakan atas segala perbuatan yang telah dilakukan setahun penuh dengan memaafkan dan menyantuni si miskin.
Zuly Qodir Mengajar di Pascasarjana UGM; Anggota Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar