Amnan dan Kelas Rahasia Ilmu Pengetahuan: Part 6
"Rahasia di Balik Bola Kristal"
Malam itu, ruangan terasa lebih misterius dari sebelumnya. Tidak ada suara selain detak jarum jam tua di sudut ruangan. Di meja kayu besar, bola kristal yang sebelumnya hanya memancarkan cahaya samar kini bersinar terang, seolah hidup.
Profesor Arkan berdiri di belakang meja, tangannya menyentuh bola kristal dengan lembut. “Apa yang akan kalian pelajari malam ini adalah inti dari ilmu pengetahuan sejati,” katanya, suaranya lebih dalam dari biasanya.
Tono menyandarkan tubuhnya ke kursi, mencoba meredakan ketegangannya. “Aku pikir tadi malam sudah cukup menantang. Sekarang apalagi, Pak?”
Profesor Arkan tersenyum tipis. “Tantangan kalian sebelumnya hanyalah persiapan. Apa yang akan kalian hadapi sekarang adalah rahasia terbesar di balik ilmu ini—kekuatan untuk melihat melampaui apa yang terlihat.”
Faiz, yang biasanya penuh humor, malah serius. “Melihat apa maksudnya, Pak?”
“Melihat kebenaran,” jawab Profesor Arkan. “Tetapi kebenaran sering kali tersembunyi, terkubur di balik kebohongan, asumsi, atau bahkan ketakutan kalian sendiri. Bola kristal ini akan membuka tabir itu, tetapi hanya jika kalian cukup berani untuk menatapnya.”
Permulaan Ujian
Profesor Arkan menggeser bola kristal ke tengah meja. “Satu per satu, kalian akan menatap bola ini. Apa yang kalian lihat di dalamnya akan menjadi refleksi dari apa yang paling kalian butuhkan untuk dipelajari.”
Amnan maju pertama. Dia mengulurkan tangan, menyentuh permukaan bola yang terasa hangat. Begitu matanya bertemu cahaya bola kristal, dunia di sekitarnya berubah.
Amnan: Cahaya di Tengah Kabut
Amnan berdiri di tengah kabut tebal. Tidak ada apa pun di sekitarnya, hanya keheningan yang mengintimidasi. Dia memanggil, “Halo? Ada orang di sini?” tetapi suaranya hilang tanpa gema.
Dari kejauhan, muncul bayangan kecil, seperti sosok manusia. Semakin dekat, Amnan menyadari bahwa itu adalah dirinya sendiri—tetapi lebih tua, tampak tenang dan bijaksana.
“Siapa kamu?” tanya Amnan.
“Aku adalah dirimu yang kamu inginkan,” jawab sosok itu. “Tapi jalan ke arah ini penuh dengan kesalahan dan kegagalan. Apakah kamu siap menghadapi semuanya?”
Amnan terdiam. Dia teringat bagaimana dia sering menghindari tanggung jawab atau menyerah terlalu cepat. “Aku takut gagal,” katanya akhirnya.
“Semua orang takut gagal,” jawab sosok itu. “Tapi hanya yang berani gagal yang akhirnya berhasil.”
Kabut perlahan menghilang, meninggalkan Amnan dengan pemahaman baru: kegagalan adalah bagian dari perjalanan, bukan akhir dari segalanya.
Faiz: Cermin Kebenaran
Ketika Faiz menatap bola kristal, dia mendapati dirinya di sebuah ruangan kecil penuh cermin. Setiap cermin memantulkan bayangan dirinya, tetapi tidak ada yang sama. Ada satu cermin di mana dia tampak bahagia, satu lagi menunjukkan dia menangis, dan cermin lain memperlihatkan wajahnya penuh kemarahan.
“Apa ini?” gumam Faiz sambil berjalan di antara cermin-cermin itu.
Suara lembut namun tegas terdengar di sekitarnya. “Ini adalah kamu, Faiz. Semua sisi dirimu yang selama ini kamu abaikan.”
Faiz berhenti di depan cermin yang menunjukkan dia menangis. “Aku tidak suka yang ini,” katanya pelan.
“Tapi itu adalah bagian dari dirimu,” kata suara itu lagi. “Mengabaikannya tidak membuatnya hilang.”
Faiz menatap cermin itu lebih lama, dan perlahan dia menyadari bahwa kesedihannya adalah bagian dari apa yang membuatnya manusiawi. Untuk pertama kalinya, dia menerima sisi itu dengan hati yang terbuka.
Tono: Labirin Pikiran
Tono menatap bola kristal dengan hati-hati. Seketika, dia merasa tersedot ke dalam pusaran warna-warni yang berputar cepat. Ketika dia membuka matanya, dia berada di sebuah labirin yang tampak tak berujung.
“Apa-apaan ini?” katanya dengan suara gemetar.
Labirin itu dipenuhi suara-suara—tertawa, menangis, bisikan, dan teriakan. Dia berjalan perlahan, mencoba menemukan jalan keluar, tetapi semakin dia bergerak, semakin labirin itu terasa berputar di sekitarnya.
“Tono!” panggil suara dari kejauhan. Itu suara Faiz, tetapi terdengar samar.
“Amnan?” panggil Tono lagi, tetapi tidak ada jawaban. Dia mulai panik, napasnya tersengal.
“Tenanglah,” bisik suara yang lain, lembut tetapi tegas. “Labirin ini adalah pikiranmu sendiri. Hanya dengan tenang kamu bisa menemukan jalan keluar.”
Tono berhenti, menarik napas panjang, dan memejamkan mata. Perlahan, dia membuka matanya kembali dan melihat jalannya mulai jelas. Dengan langkah pasti, dia berjalan keluar dari labirin itu.
Kembali ke Ruang Lab
Ketiganya kembali ke ruangan, tubuh mereka terasa lemas tetapi mata mereka penuh dengan pemahaman baru.
Profesor Arkan menyambut mereka dengan senyuman tipis. “Apa yang kalian lihat bukanlah kenyataan di luar, tetapi kenyataan di dalam diri kalian sendiri. Kalian telah mengambil langkah besar untuk memahami siapa diri kalian sebenarnya.”
Amnan mengangguk pelan. “Aku mengerti sekarang… kenapa kita harus melewati semua ini.”
“Tapi masih ada satu pelajaran lagi,” kata Profesor Arkan, suaranya serius. “Kalian telah belajar menghadapi ketakutan, menerima masa lalu, dan memahami diri kalian. Namun, pelajaran terakhir adalah yang paling sulit: memutuskan jalan yang akan kalian tempuh di masa depan.”
Mata Faiz melebar. “Maksudnya?”
Profesor Arkan hanya tersenyum. “Itu adalah pilihan yang hanya bisa kalian buat sendiri.”
(Bersambung ke Part 7: "Persimpangan Takdir")
Tidak ada komentar:
Posting Komentar