*ANTITESIS TA'LIM VS TATSQIF*
_(Menyoal Wacana Penghapusan Pendidikan Agama)_
Oleh : Nazril Firaz Al-Farizi
Pada Kamis (04/07) Chairman Jababeka Group Setyono Djuandi Darmono membuat publik bereaksi atas pernyataannya bahwa, "Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda," ujarnya setelah mengadakan bedah bukunya yang ke-6 berjudul Bringing Civilization Together.
Dan pernyataan Darmono lainnya, "Kita harus jaga bangsa ini dari politik identitas (agama). Kalau negara ini hancur, yang rugi kita sendiri,". Pernyataan seperti itu Darmono utarakan pula kepada Jokowi secara langsung untuk menyarankan bahwa pendidikan agama dihapuskan di sekolah. Darmono dikenal sebagai tokoh pejuang kebudayaan. Dia pun sebagai Chairman PT. WTC Borobudur, Prambanan dan
Ratu Boko (Persero), Inisiator Lembaga Pendidikan Dan Pelatihan Masyarakat Cikarang (LPPM-C), dan Pendiri SMA Presiden.Reaksi pun muncul dari DPR diantaranya dari Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini pada Jumat (05/07) yang menolak tegas wacana penghapusan pendidikan agama di sekolah karena hal itu dianggapnya merupakan ide sekulerisme yang menjauhkan generasi bangsa dari nilai-nilai agama. Kemudian pada hari yang sama pula, Sekretaris Fraksi Partai Nasdem Syarif Abdullah Alkadrie menyayangkan pernyataan Darmono yang dianggapnya dangkal dan tidak berdasar.
Sebaliknya, saat ini DPR sedang menggodok penyusunan RUU Pesantren dan Pendidikan Agama yang telah dinantikan oleh banyak ormas keagamaan terutama ormas Islam. Jazuli menyebutkan bahwa penyusunan RUU tersebut berdasarkan Pasal 29 UUD 1945 Tentang Agama dan Pasal 31 UUD 1945 Tentang Pendidikan Dan Kebudayaan.
Apa yang Darmono utarakan tersebut tidak lain dan tidak bukan pasti itu hanya menyerang agama Islam, bukan agama lain. Islam selalu ditempatkan pada posisi tertuduh dan selalu bersalah di pihak sekuler liberal maupun komunis karena memang saling bertolak belakang 180°.
Akar Masalah Sebenarnya
Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan berbasis Islam sebetulnya sudah dilakukan sejak lama sebagai usaha untuk menerjemahkan amanat dari Pasal 29 UUD 1945 Tentang Agama dan Pasal 31 UUD 1945 Tentang Pendidikan Dan Kebudayaan ini. Bahkan sudah banyak berdiri pula sekolah semi pesantren yang biasanya dinamai sekolah plus anu plus anu, atau bahkan pesantren yang full mondok sekian bulan bahkan sekian tahun.
Hanya saja tsaqafah Islam yang telah diajarkan di sekolah atau pesantren membuktikan tidak dapat menciptakan perubahan pada tatanan kehidupan masyarakat. Mari kita lihat misal perkembangan mengenai kerudung. Mungkin bagi umat Islam usia SD-SMP-SMA generasi 90an dan generasi sebelumnya ketika mereka bersekolah dulu sangat jarang sekali menemukan muslimah memakai kerudung saat bersekolah atau bahkan menjadi seragam resmi sekolah. Padahal di sekolah ketika itu pun ada pula mata pelajaran agama.
Atau mari kita lihat fenomena gelombang hijrah besar-besaran yang terjadi di kalangan anak muda era 2010an ke atas ini. Itu terjadi bukan karena hasil pendidikan agama di sekolah, justru di luar sekolah. Bahkan saat ini semakin banyak muslimah yang tahu soal pakaian syar'i itu seperti apa dan bagaimana bentuknya bahkan semakin banyak yang berbisnis di bidang pakaian syar'i muslimah. Itu pun bukan karena hasil pendidikan agama di sekolah atau perguruan tinggi, namun perubahan yang terjadi di luar sekolah.
Pertanyaan, apa yang sebetulnya salah di sini?
Tentunya yang salah bukanlah tsaqafah Islamnya, tetapi metode penyampaian tsaqafah Islam dan perlakuan umat terhadap tsaqafah islam itu sendiri salah.
Sejak keruntuhan Khilafah sebagai institusi umat Islam, bahkan sebelum Khilafah runtuh pun umat Islam telah berpindah aqidah karena masuknya tsaqafah-tsaqafah barat serta tidak adanya penyaringan terhadap semua itu karena ketiadaan Mujtahid ketika itu untuk menilai hukum atas fakta tsaqafah-tsaqafah yang masuk tersebut.
Sekuler telah menjadi asas aqidah kaum muslim sampai sekarang. Umat pun telah kehilangan kepercayaan terhadap Islam itu sendiri sebagai ideologi yang memancarkan sistem hukum sekaligus merupakan sebuah pandangan hidup. [1]
Umat pun akhirnya memperlakukan Islam hanya sebagai agama ritual yang posisinya seolah sama dengan agama lain (sinkretisme). Dengan kata lain pandangan hidup atau aturan yang diambil umat ketika menghadapi problematika kehidupan hanyalah hukum Islam pada tataran ibadah mahdah yang memang hanya bersifat individual.
Ditambah lagi dengan semakin majunya dunia Barat setelah terjadi revolusi industri, kemudian di abad ke-19 pun telah muncul metode ilmiah ciptaan Barat yang dijadikan metode berpikir sekaligus asas berpikir. Definisi metode ilmiah sendiri adalah metode tertentu dalam pengkajian yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas (al-haqiqah, nature) dari sesuatu melalui jalan percobaan (eksperimen) atas sesuatu itu. Metode ini hanya dapat digunakan untuk mengkaji objek terindera, bukan yang tidak terindera maupun mengkaji pemikiran. [2]
Kekeliruan yang terjadi adalah umat malah menjadikan metode ilmiah tidak hanya sebagai metode berpikir semata, namun sekaligus asas berpikir. Khas yang diklaim oleh Barat dari metode ilmiah adalah meniadakan opini-opini terdahulu (al-ara' as-sabiqah, previous opinions) agar tidak mempengaruhi dan mengganggu pengamatan, percobaan, komparasi, pemeriksaan dan kesimpulan dengan alat analisis tertentu.
Mereka mengklaim seperti itu. Padahal kenyataannya metode ilmiah bukanlah asas berpikir, melainkan hanya cabang dari metode berpikir rasional. Karena buktinya metode ilmiah tetap akan memerlukan informasi sebelumnya (ma'lumat sabiqoh) sebagai salah satu syarat melakukan proses berpikir. Informasi-informasi sebelumnya ini tentulah bukan diperoleh dari observasi atau eksperimen seperti pada metode ilmiah karena observasi dan eksperimen itu sendiri belum dilakukan. Namun informasi sebelumnya itu diperoleh dari hasil proses memindahkan penginderaan terhadap realitas (al-haqiqah, nature) melalui panca indera ke dalam otak. Proses itulah yang disebut metode rasional. Maka metode ilmiah tidak bisa dijadikan asas berpikir, karena hanya sebagai cabang dari metode rasional.
Hasil akhir (natijah, result) dari metode ilmiah ini hanya bersifat dugaan (zhanni, speculative), tidak akan pernah bersifat pasti (qath'i, definite), karena hanya mengkaji realitas (al-haqiqah, nature), bukan mengkaji keberadaan (wujud, existence). Pengkajian keberadaan tentu dengan penginderaan terhadap fakta, sedangkan penginderaan terhadap keberadaan fakta itu sendiri tidak mungkin salah. Artinya pencerapan panca indera atas keberadaan fakta tersebut bersifat pasti. Berbeda halnya dengan mengkaji realitas, karena hanya diperoleh melalui berbagai informasi atau sejumlah analisis atas fakta yang diindera sehingga bersifat dugaan.
Perlu diketahui pula, hasil dari metode ilmiah hanya sekedar untuk diketahui semata aspek ilmiahnya, dan tidak bisa dijadikan metode untuk mengubah persepsi-persepsi umat untuk membentuk sebuah kenyataan di dalam kehidupan.
Sayangnya metode berpikir ilmiah ini pun digunakan umat untuk menyusun kurikulum pendidikan. Termasuk adanya tsaqafah Islam yang dijadikan pendidikan agama di sekolah pun diperlakukan sama seperti ilmu pengetahuan umum lainnya yang memang dihasilkan dari metode berpikir ilmiah. Maka tsaqafah Islam pun hanya bersifat ilmiah semata, dimana umat mendapat tsaqafah Islam hanya sebatas untuk diketahui saja (ta'lim) dan bersifat akademis. Bukannya menjadikan tsaqafah Islam sebagai pancaran dari ideologi Islam yang mendorong untuk diwujudkan dalam kehidupan hasil dari pembinaan (tatsqif).
Sampai kapanpun sekolah dengan pendidikan agama yang plus plus apapun, bahkan pesantren tidak akan pernah bisa membangkitkan umat. Hal itu dikarenakan tsaqafah Islam hanya dijadikan sebagai sesuatu yang ilmiah semata, diketahui semata, transfer ilmu semata, paling tinggi pun hanya bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, itu pun lagi-lagi hanya soal ibadah mahdah dan bersifat individual, karena ini merupakan pancaran dari aqidah sekuler yang sudah menjalar umat hampir 100 tahun. Sekolah hanya bersifat statis mengikuti keadaan, maka akan sulit untuk membentuk sebuah kenyataan perubahan secara mendasar dan revolusioner. [3]
Maka sesuai dengan apa yang sudah diterangkan pada paragraf 7 dan 8 tulisan ini, bahwa perubahan justru terjadi bukanlah di sekolah meski ada pendidikan agama, melainkan di luar sekolah. Lantas siapa yang merubah umat? Tentu harus merupakan sebuah partai/kelompok.
Partai di sini tentunya merupakan kelompok yang sudah sangat memahami secara hakiki ideologi Islam, menjadikan aqidah Islam sebagai asas, menjadikan aqidah dan tsaqafah sebagai ikatan antara anggota partainya sehingga kelompok ini akan berpengaruh, maju, mempunyai kepekaan mendalam dan dinamis di tengah umat.
Maka perbedaan sekolah dengan partai tentang membentuk perubahan pada umat lewat tsaqafah dapat dikembalikan pada 3 perkara [4] :
1. Sekolah bersifat statis, tidak mampu membentuk perubahan masyarakat. Partai bersifat dinamis, mampu membentuk masyarakat dengan suasana keimanan;
2. Sekolah mendidik individu (ta'lim) agar berpengaruh di masyarakat, maka hasilnya pun bersifat individual. Sementara partai membina jamaah (tatsqif) agar mempengaruhi individu, sehingga hasilnya bersifat jamaah;
3. Sekolah mempersiapkan perasaan secara parsial pada individu untuk mempengaruhi jamaah. Hasilnya tidak mampu merangsang pemikiran jamaah kecuali hanya parsial semata. Sementara partai mempersiapkan perasaan secara menyeluruh dalam jamaah untuk mempengaruhi perasaan individu. Maka hasilnya pun akan mempengaruhi pemikiran secara jamaah.
Lalu bagaimana agar tsaqafah Islam disampaikan dengan cara tatsqif, bukan ta'lim, sehingga menimbulkan pengaruh kepada umat untuk bangkit? Hal itu dapat dikembalikan pada 3 perkara pula [5] :
1. Mempelajari tsaqafah Islam harus diterima dengan cara talaqqiyan fikriyan (pemikiran yang disampaikan melalui perjumpaan). Hal ini dikarenakan tsaqafah Islam bersifat fikriyah, mendalam, mengakar dan memerlukan kesabaran serta keteguhan dalam mempelajarinya. Mempelajarinya merupakan aktivitas berpikir yang membutuhkan pengerahan seluruh upaya (pemikiran) untuk memahaminya. Membutuhkan pemahaman menyeluruh tentang fakta, kaitannya dengan berbagai informasi yang dapat memberi pemahaman.
2. Mempelajari tsaqafah Islam harus meyakini apa yang sedang dipelajarinya agar bisa beraktivitas dengannya. Yaitu membenarkan hakekat yang dipelajarinya dengan pembenaran yang pasti (qath'i) tanpa ada keraguan jika yang dipelajarinya itu berkaitan dengan aqidah. Serta hakekat yang dipelajarinya berdasarkan dugaan kuat (ghalabatu adz-dzan) seperti hukum dan adab. Semua itu harus kembali berdasarkan asal keyakinan yang diyakini dengan pasti. Maka ketika keyakinan dijadikan asas dalam mempelajari tsaqafah, akan mendorong orang yang mempelajarinya bangkit dan berpengaruh.
3. Mempelajari tsaqafah sebagai pelajaran yang bersifat praktis. Artinya ketika dihadapkan atas berbagai fakta, selalu menjadikan tsaqafah sebagai solusi atas fakta yang terjangkau indera. Bukan sekedar pelajaran yang mengacu pada aspek teoritis semata. Sehingga tsaqafah Islam disifati berdasarkan hakekatnya untuk memecahkan (mu'alajah) masalah dan merubahnya. Sehingga berbagai fakta akan selalu dijadikan objek untuk dihukumi oleh tsaqafah sebagai subjek dalam merubah fakta (perbuatan+benda).
Khatimah
Oleh karena itu wacana penghapusan pendidikan agama di sekolah mungkin akan semakin mewujudkan sekuler secara kaffah. Namun adanya pendidikan agama di sekolah pun tetap tidak dapat membangkitkan umat, karena asas aqidah umat sudah sekuler sejak keruntuhan Khilafah, kemudian mengambil metode berpikir ilmiah Barat dalam memperlakukan tsaqafah Islam sehingga hanya mempelajari Islam soal ibadah mahdah, ditambah itu pun hanya dijadikan sebatas transfer ilmu semata dan bersifat akademis.
Jadi intinya pendidikan agama di sekolah tetap ada, namun partai harus merubah umat dengan pembinaan khusus (tatsqif), kemudian berinteraksi dengan umat (tafa'ul ma'a al-ummah), dimana umat sebagai sekolahnya partai yang di dalamnya terdapat benturan pemikiran (shira'ul fikr), adopsi kepentingan umat (tabanni mashalih ummah), pemutusan loyalitas umat kepada rezim (darbu alaqoh) serta pencarian kekuatan untuk mendukung perubahan (thalabun nusrah) ketika umat pun sudah bergelora terdorong oleh tsaqafah Islam untuk menegakan Islam secara Kaffah. Di sanalah perubahan secara mendasar dan revolusioner terjadi.
Wallahu alam bishowab.
Nazril Firaz Al-Farizi
Catatan kaki :
[1] Taqiyuddin An-Nabhani, Nida' Har Illa al-Muslimin min Hizbut Tahrir, hal. 268
[2] Taqiyuddin An-Nabhani, At-Tafkir, hal. 32
[3] Taqiyuddin An-Nabhani, At-Takattul al-Hizby, hal. 53
[4] Ibid, hal. 56-57
[5] Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah al-Islamiyah Jilid 1, hal. 388-390
Tidak ada komentar:
Posting Komentar