Buletin Kaffah no. 06, 15 September 2017/24 Dzulhijjah
1438 H
Mewujudkan Makna Lâ
ilâha illâlLâh
Kecenderungan
untuk mensucikan, mensakralkan atau menyembah sesuatu merupakan fitrah setiap
manusia. Itulah naluri beragama (gharîzah
at-tadayyun) yang ada pada setiap manusia. Karena itu manusia akan merasa
tenang ketika melaksanakan ibadah karena tuntutan gharizah tadayyun (naluri beragama)-nya telah terpenuhi.
Akal dapat membuktikan bahwa Al-Khâliq itu wâjib al-wujûd
(keberadaannya mutlak), bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir) serta
memiliki kesempurnaan mutlak. Berdasarkan itu ibadah hanya boleh dan layak
dilakukan kepada Al-Khâliq semata dan
tidak boleh dilakukan kepada selain Diri-Nya. Jika manusia telah meyakini keberadaan
Al-Khâliq maka keyakinan itu
mengharuskan dia untuk hanya menyembah dan mengabdi kepada Allah SWT, tidak kepada
selain Diri-Nya.
Jadi fitrah dan akal manusia mengharuskan ibadah hanya kepada
sang Pencipta (Al-Khâliq) semata. Karena itu Islam
datang untuk menjelaskan kepada manusia bahwa ibadah dan pengabdian tidak boleh
dilakukan kecuali hanya kepada Zat yang ‘azali
(tidak berawal dan tidak berakhir) dan wâjib
al-wujûd (keberadaannya mutlak). Dialah Allah SWT. Dalam hal ini Allah SWT
berfirman:
﴿قُلْ مَن رَّبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
﴿٨٦﴾ سَيَقُولُونَ
لِلَّهِۚ قُلْ أَفَلَا
تَتَّقُونَ ﴿٨٧﴾ قُلْ مَن بِيَدِهِ
مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
﴿٨٨﴾ سَيَقُولُونَ
لِلَّهِۚ قُلْ فَأَنَّىٰ
تُسْحَرُونَ ﴿٨٩﴾
بَلْ أَتَيْنَاهُم بِالْحَقِّ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ ﴿٩٠﴾
Katakanlah, "Siapakah Tuhan Pencipta lagit langit
yang tujuh dan Pemilik 'Arsy yang agung?" Mereka akan menjawab,
"Kepunyaan Allah." Katakanlah, "Lalu apakah kalian tidak
bertakwa?" Katakanlah, "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan
atas segala sesuatu, sedangkan Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat
dilindungi dari (azab)-Nya jika kalian tahu?" Mereka akan menjawab,
"Kepunyaan Allah." Katakanlah, "(Kalau demikian), lalu dari
jalan manakah kalian ditipu?" Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran
kepada mereka dan sungguh mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. (TQS al-Mu’minun [23]: 86-90).
Dengan demikian, pengakuan manusia bahwa Allah SWT adalah
Al-Khâliq, Yang menciptakan segala sesuatu dan memiliki kekuasaan atas
segala sesuatu, mengharuskan diri mereka untuk hanya menyembah dan mengabdi
kepada Allah SWT semata. Dalam banyak ayat al-Quran Allah SWT telah menegaskan bahwa
Dialah satu-satunya Zat Yang layak disembah. Allah SWT, misalnya, berfirman:
﴿وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ
الرَّحِيمُ﴾
Tuhan
kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang (TQS al-Baqarah
[2]:
163).
﴿اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ
الْقَيُّومُ﴾
Allah,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Mahahidup dan terus-menerus
mengurus makhluk-Nya (TQS Ali Imran [3]: 2).
﴿وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا اللَّهُ
الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ﴾
Sekali-kali
tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan (TQS Shad [38]:
65).
Ayat-ayat al-Quran juga menunjukkan secara qath’i
penafian atas berbilangnya ilâh (tuhan). Karena itu ayat-ayat al-Quran sekaligus
menafikan secara pasti berbilangnya al-ma’bûd (zat yang disembah). Ayat-ayat
al-Quran juga datang membatasi ibadah hanya kepada Tuhan Yang satu. Dialah Allah
SWT. Dialah Al-Ma’bûd. Dialah Zat Yang wâjib al-wujûd.
Kata ilâh baik secara bahasa maupun secara syar’i
hanya memiliki satu makna, yaitu al-ma’bûd (zat yang disembah). Jadi,
makna lâ ilâha tidak lain adalah lâ ma’bûda (tidak ada zat yang
berhak disembah/diibadahi). Karena itu makna syahadat Lâ ilâha illâlLâh
bukan hanya kesaksian atas keesaan Al-Khâliq saja, tetapi sekaligus kesaksian
bahwa tidak ada yang berhak untuk disembah dan diibadahi kecuali Allah SWT Yang
wâjib al-wujûd. Hal ini berkonsekuensi pada upaya mengesakan Allah SWT semata
dalam wujud ibadah kepada Allah SWT dalam segala bentuknya sekaligus menolak segala
bentuk ibadah kepada selain Diri-Nya.
Ibadah dan pengabdian kepada Allah SWT mencakup segala
jenis ibadah dan pengabdian. Karena itu syahadat Lâ ilâha illâlLâh
mencakup ibadah mahdhah (ritual) sesuai dengan apa yang telah Allah SWT syariatkan
dan tidak menyekutukan Dia dengan apapun dalam ibadah mahdhah itu.
Syahadat Lâ ilâha illâlLâh mencakup penisbatan segala sifat kesempurnaan
secara mutlak dan nama-nama agung kepada Allah SWT. Syahadat Lâ ilâha
illâlLâh mencakup pengesaan dalam hal permohonan dan doa hanya kepada Allah
SWT saja. Syahadat Lâ ilâha illâlLâh juga mencakup ibadah dan pengabdian
kepada Allah SWT dengan selalu terikat hanya pada syariah-Nya. Tidak boleh
seorang Muslim terikat dengan aturan apapun yang bertentangan dengan
syariah-Nya. Syariah Allah SWT sendiri mengatur segala aspek kehidupan manusia
baik dalam konteks individu, masyarakat maupun negara.
Allah SWT telah melarang ibadah dan pengabdian kepada
selain Diri-Nya. Dengan kata lain Allah SWT melarang tunduk dan patuh pada
aturan atau hukum yang bertentangan dengan syariah-Nya. Ketundukan dan
kepatuhan pada selain syariah-Nya dipandang sebagai bentuk ibadah dan
pengabdian kepada selain Diri-Nya. Allah SWT berfirman:
﴿اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ
دُونِ اللَّهِ ... ﴾
Mereka
(kaum Yahudi dan Nasrani) telah menjadikan para pendeta dan para rahib mereka
sebagai tuhan-tuhan selain Allah
(TQS at-Taubah [9]: 31).
Saat mendengar
ayat di atas, Adi bin Hatim berkata, “Wahai
Rasulullah, mereka tidaklah menyembah para pendeta dan rahib mereka.” Namun,
beliau menyanggah pernyataan itu:
« بَلَى، إِنَّهُمْ حَرَّمُوْا
عَلَيْهِمْ الْحَلاَلَ، وَأَحَلُّوْا لَهُمْ الْحَرَامَ، فَاتَّبِعُوْهُمْ، فَذَلِكَ
عِبَادَتُهُمْ إِيَاهُمْ »
Benar
(mereka menyembah para pendeta dan para rahib mereka). Sungguh para pendeta dan
para rahib itu telah mengharamkan yang halal atas mereka dan menghalalkan yang
haram untuk mereka. Lalu mereka mengikuti para pendeta dan para rahib mereka
itu. Itulah ibadah (pengabdian) mereka kepada para pendeta dan para rahib
mereka (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Mewujudkan semua bentuk ibadah dan pengabdian itulah yang
menjadi seruan dakwah dan misi yang diemban oleh Rasul saw., yang dilanjutkan
oleh para sahabat dan generasi kaum Muslim. Rasul saw. menyeru manusia untuk
beriman dan masuk Islam. Berikutnya beliau menyeru mereka yang beriman dan
masuk Islam untuk menjalankan ibadah serta menjalankan semua hukum Islam dan
meninggalkan semua hukum selain hukum Islam. Rasul saw. pun menyeru mereka yang
tidak mau beriman dan masuk Islam untuk tunduk pada hukum dan kekuasaan Islam. Yunus
bin Bukair menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Najran. Di
antara isinya:
«... أَمّا بَعْدُ فَإِنّي
أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلَايَةِ
اللّهِ مِنْ وِلَايَةِ الْعِبَادِ ... »
“Amma ba’du, aku menyeru kalian untuk
beribadah (menghambakan diri) kepada Allah dengan meninggalkan penghambaan
kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian untuk tunduk pada
kekuasaan Allah dengan meninggalkan ketundukan pada kekuasaan hamba (manusia)… (Ibn
Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah,
v/553, Maktabah al-Ma’arif, Beirut).
Rasul saw. pun langsung menerapkan hukum-hukum Islam di
wilayah-wilayah yang bergabung atau wilayah-wilayah yang dibebaskan tanpa
menunda-nunda pelaksanaannya seperti di wilayah Bahrain, Yaman dan seluruh Jazirah
Arab hingga Tabuk yang berbatasan dengan Syam. Hal yang sama dilakukan oleh
para sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin seperti di wilayah Syam, Persia,
Mesir dan lainnya. Hukum-hukum Islam itu diterapkan kepada siapapun yang ada di
bawah kekuasaan Rasul saw., yakni di bawah kekuasaan pemerintahan Islam.
Alhasil, syahadat Lâ
ilaha illâlLâh mencakup pengesaan Allah SWT dalam wujud ibadah dan pengabdian
dengan segala bentuknya. Makna syahadat itulah yang mesti diwujudkan oleh
setiap Muslim dalam semua aspek kehidupan mereka. Mewujudkan makna syahadat Lâ ilaha illâlLâh sebagaimana diamalkan
oleh Rasul saw., para sahabat dan generasi kaum Muslim terdahulu itu menjadi
tugas dan tanggung jawab kita. Karena itu memperjuangkan tegaknya syariah Islam
secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan—sebagai konsekuensi dari
syahadat Lâ ilaha illâlLâh—adalah hal
yang niscaya. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
[]
Hikmah:
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا
فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Sungguh
Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),
"Sembahlah Allah saja dan jauhilah thâghût itu." Lalu di antara mereka
ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang-orang yang
telah pasti kesesatan atas dirinya. Karena itu berjalanlah kalian di atas bumi,
lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para rasul)
itu (TQS an-Nahl
[16]: 36).
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا
إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Hak membuat
hukum itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
tahu (TQS
Yusuf [12]: 40).
Buletin KAFFAH semua edisi dilihat DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar