Apabila anda mengajukan suatu pertanyaan, Siapakah orang miskin itu? anda cenderung mendapatkan jawaban yang banyak sekali. Beberapa jawaban akurat, dan beberapa yang lain mencerminkan salah penegrtian yang dianut secara umum tentang orang-orang yang miskin. Orang-orang sering mengidentifikasikan menjadi miskin itu dengan kaum minoritas ras. Suatu pengujian data pendahuluan tntang kemiskinan di Amerika Serikat tidak mendukung pandangan ini, karena 47 persen orang-orang miskin adalah kaum Kulit Putih bukan Hispanic (Proctor & Dalaker, 2002, dalam DuBois & Miley, 2005: 286).
Akan tetapi, kesimpulan ini salah kaprah. Dalam jumlah absolut, lebih banyak orang-orang Kulit Putih yang miskin daripada orang-orang Kulit Hitam atau orang333 orang Hispanic; akan tetapi, suatu perbandingan angka kemiskinan menunjukkan terjadinya angka kemiskinan yang tidak berimbang di kalangan kaum minoritas: 22,7 persen bagi orang-orang Kulit Hitam, 21,4 persen bagi orang-orang Hispanic dari semua ras, dan 10,2 persen bagi orang-orang Asia dan orang-orang Kepulauan Pacific berbanding 7,8 persen bagi orang-orang Kulit Putih bukan Hispanic.
Suatu stereotip yang dipertahankan secara umum ialah bahwa keluarga-keluarga yang miskin adalah besar; akan tetapi, besaran keluarga dengan penghasilan di bawah garis kemiskinan tidak berbeda secara cukup besar dari rata-rata besaran keluarga secara keseluruhan di Amerika Serikat. Akan tetapi adalah benar bahwa resiko jatuh ke bawah garis kemiskinan lebih besar bagi keluargakeluarga besar. Beberapa jenis keluarga lebih beresiko daripada jenis keluarga lain. Sebagai contoh, angka kemiskinan bagi suatu keluarga yang suami-istri masih utuh ialah 4,9 persen. Angka kemiskinan bagi rumahtangga yang kepala keluarganya laki-laki (tanpa istri) ialah 13,1 persen. Angka kemiskinan bagi rumahtangga yang kepala keluarganya perempuan (tanpa suami) ialah 26,4 persen (Proctor & Dalaker, 2002, dalam DuBois & Miley, 2005: 286).
Bahkan ungkapan feminisasi kemiskinan, yang berarti bahwa kaum perempuan dewasa dewasa ini adalah suatu kelompok yang lebih dominan di antara kelompokkelompok yang miskin, agaknya salah kaprah. Barubaru ini, kaum perempuan dan anak-anak merupakan bagian terbesar kelompok-kelompok yang miskin, tetapi mereka juga merupakan bagian terbesar kelompokkelompok yang miskin pada awal tahun 1960-an. Data statistik menunjukkan resiko kemiskinan bagi rumahtangga-rumahtangga yang kepala keluarganya perempuan bukan Kulit Putih: 35 persen bagi rumahtangga-rumahtangga yang kepala keluarganya perempuan Kulit Hitam, 15 persen bagi orang-orang Asia dan Pacific keturunan Amerika Serikat, dan 37 persen bagi rumahtangga-rumahtangga yang kepala keluarganya perempuan asli orang Hispanic dibandingkan dengan 19 persen rumahtanggarumahtangga yang kepala keluarganya perempuan Kulit Putib bukan Hispanic (McKinnon, 2003; Proctor & Dalaker, 2002; Reeves & Bennett, 2003, dalam DuBois Miley, 2005: 286). Menggarisbawahi kecenderungan ini ialah kesulitan yang dialami oleh keluarga-keluarga dalam perekonomian dewasa ini ketika keluargakeluarga itu harus menyandarkan diri kepada satu penghasilan tunggal untuk memperoleh penghidupan. Komplikasi untuk mencapai kecukupan diri meliputi fakta-fakta bahwa kaum perempuan pada dasarnya memperoleh penghasilan lebih sedikit daripada kaum laki-laki, walaupun dalam posisi-posisi jabatan yang sama, dan bahwa biaya-biaya pengasuhan anak walaupun apabila disubsidi, menguras sumber-sumber keuangan. Data statistik menunjukkan tingginya resiko kemiskinan ini bagi anak-anak. Sekitar seperempat dari semua anakanak di bawah usia 18 tahun tinggal di dalam rumahtangga yang kepala keluarganya perempuan. Dari anak-anak ini, sekitar 40 persen tinggal di dalamkemiskinan (Fields, 2003, dalam DuBois Miley, 2005: 286).
Walaupun jumlah anak-anak yang berada di dalam garis kemiskinan di Amerika Serikat baru-baru ini menurun dari 20 persen menjadi 16,5 persen, studi-studi terbaru menunjukkan angka kemiskinan yang mengkhawatirkan bagi seluruh anak-anak di bawah usia 18 tahun (Mather & Rivers, 2003, dalam DuBois Miley, 2005: 286).
Suatu perbandingan angka-angka kemiskinan di 22 negara menemukan bahwa dari negara-negara yang dijadikan sampel studi, hanya Mexico yang memiliki angka kemiskinan anak-anak yang lebih tinggi daripada Amerika Serikat. Suatu studi terbaru yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan bahwa, di antara negara-negara industri, satu-satunya negara yang angka kemiskinan anak-anak lebih tinggi daripada Amerika Serikat ialah Rusia. Angka kemiskinan anak di Amerika Serikat pada dasarnya lebih tinggi daripada di negara-negara Skandinavia seperti Swedia dimana angka kemiskinan anak kurang dari 3 persen (Adamson, Micklewright, & Wright, 2000, dalam DuBois Miley, 2005: 286). Di Amerika Serikat pada khususnya, angka kemiskinan anak-anak di bawah usia 18 tahun ialah 30 persen bagi anak-anak kulit Hitam dan 28 persen bagi anak-anak Hispanic (warganegara Amerika Serikat berkulit putih keturunan Spanyol) dibandingkan dengan 10 persen bagi anak-anak Kulit Putih yang bukan Hispanic (McKinnon, 2003; Ramirez & de la Cruz, 2003, dalam DuBois Miley, 2005: 286).
Masyarakat umum sering mencirikan orang-orang yang miskin sebagai orang-orang yang sebenarnya mampu bekerja; akan tetapi, fakta-fakta mematahkan miskonsepsi ini. Sejumlah orang-orang yang menerima bantuan kesejahteraan semata-mata menambah upah mereka. Lagi pula, suatu persentasi yang besar orangorang yang penghasilannya di bawah garus kemiskinan ialah pekerja purna waktu. Sebagai contoh, ada seorang dewasa yang bekerja di dalam 74 persen keluarga anakanak yang miskin (Children’s Defense Fund, 2000a, dalam DuBois Miley, 2005: 286). Dalam kaitan dengan standard dewasa ini, suatu pekerjaan purna waktu yang hanya dibayar dengan upah minimum meningkatkan suatu level kemisminan di bawah garis kemiskinan dewasa ini. Menurut laporan, orang-orang miskin yang bekerja merupakan lapisan orang-orang yang miskin yang bertumbuh sangat pesat.
Segalman dan Basu (1981) mencirikan orang-orang miskin sebagai suatu kontinuum yang meliputi orangorang miskin transisional, orang-orang miskin marjinal, dan orang-orang miskin residual. Bagi orang-orang miskin transisional (the transitional poor), kemiskinan ialah suatu fenomena sementara dan berjangka pendek yang dialami karena kondisi-kondisi perubahan. Orangorang yang menganggur untuk jangka waktu yang pendek, para imigran, dan bahkan para mahasiswa perguruan tinggi masuk ke dalam kategori ini. Sebagai akibat dari pengangguran, orang-orang miskin marjinal (the marginal poor) hanya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka saja. Bagi orangorang ini, kemampuan untuk menjamin pemenuhan diri sering bergantung kepada kecenderungan-kecenderungan ekonomi dan ketenagakerjaan nasional. Sementara banyak orang-orang miskin marjinal menikmati mobilitas ke atas, beberapa di antaranya beresiko terperosok di dalam kemiskinan. Orang-orang miskin residual (the residual poor) tetap berada di dalam garis kemiskinan untuk jangka waktu yang panjang, bahkan dari satu generasi ke generasi berikutnya (misalnya secara transgenerasional atau antargenerasi). Bantuanbantuan kesejahteraan sering mensubsidi orang-orang yang mengalami kemiskinan residual selama periode pertambahan waktu tertentu (DuBois Miley, 2005: 287).
Banyak orang yakin bahwa orang-orang yang miskin pada umumnya masuk ke dalam kategori residual; akan tetapi, suatu analisis tentang lama tinggal rata-rata di dalam bantuan kesejahteraan mematahkan keyakinan ini. Para penerima bantuan kesejahteraan berjangka panjang “ternyata benar-benar ada, tetapi itu merupakan kekecualian, bukan peraturan” (Pavetti, 1997, dalam DuBois Miley, 2005: 287). Pola-pola kesejahteraan yang digunakan berbeda bagi orang-orang yang menggunakan kesejahteraan untuk jangka waktu yang pendek dan tidak pernah kembali lagi, bagi orang-orang yang sebentar-sebentar menggunakan kesejahteraan di dalam krisis ekonomi atau keluarga yag sering berulang kembali, dan bagi orang-orang yang menerima kesejahteraan secara terus menerus selama periode waktu yang panjang. Atas pertimbangan ini, sulit untuk menentukan suatu lama tinggal rata-rata di dalam antrian bantuan kesejahteraan.
Catatan-catatan pada masa lalu menunjukkan bahwa, di antara kaum perempuan yang pernah menerima bantuan kesejahteraan, sekitar setengahnya meninggalkan bantuan kesejahteraan dalam tempo setahun dan hampir tiga per empatnya dalam tempo dua tahun (Pavetti, 1997, dalam DuBois Miley, 2005: 287). Sayangnya, walaupun banyak kaum perempuan mengakses bantuan kesejahteraan untuk periode waktu yang relatif pendek, mereka juga cenderung kembali meminta bantuan tambahan dalam selang waktu lima tahun. Studi-studi terbaru tentang partisipasi dalam bantuan kesejahteraan menunjukkan bahwa bantuan kesejahteraan berjangka waktu panjang cenderung lebih banyak dialami oleh keluarga-keluarga yang mengalami tantangan-tantangan ekonomi yang lebih sulit untuk memenuhi kecukupan dirinya sendiri seperti para pecandu napza, cacat mental, buta aksara, dan keluarga-keluarga dengan anak-anak yang mengalami kelainan-kelainan perkembangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar