Rumah Syariah developer PT Indo Tata Graha

Membagikan info mengenai Rumah yang bisa di beli dengan skema pembayaran Syariah dari developer ---.

1.  Bumi Madina Asri Bangah
2. Graha Permata Juanda


3. Wage Indah


Town house yang berada di Wage Kecamatan Gedangan Sidoarjo ini, banyak diminati. Hingga saat post ini dikirim, hanya tinggal satu unit saja dan ditawarkan hanya untuk skema pembayaran cash. Beberapa unit sudah siap huni dan yang lainnya dalam proses pembangunan dan bisa serah terima dalam bulan ini.
Mutu bangunan yang bagus di tempat yang strategis, menjadikan hunian ini banyak diminati. Ditambah lagi dengan desain yang bagus, modern minimalis dan harga yang murah untuk kawasan yang sedang berkembang ini. Info lebih lengkap mengenai townhouse Wage Indah ini bisa dilihat di sini. Jika ada pertanyaan, bisa melalui kontak yang ada di website tersebut.

4. Puri Pogot

Selengkapnya mengenai tulisan ini bisa dilihat disini.

Apakah ini? Ppn Bphtb Pph Bbn ?

Apakah ini?
Ppn
Bphtb
Pph
Bbn
?

Pajak petambahan Nilai = 10%
BPHTB= Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan= pajak pembeli =5%
Pph 21= pajak penghasilan pasal 21= pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honor, fee marketing, dll. = 20% (sesuai pasal 26)
BBN= bea balik nama =ngurus ke BPN.

Pemerintah kita suka majakin rakyatnya ya. Dari berbagai sisi dipajaki semua.

IMAN, KEPATUHAN DAN PEMBELAAN TERHADAP DAKWAH

Buletin Kaffah no. 08, 9 Muharram 1439 H/29 September 2017 M

IMAN, KEPATUHAN DAN PEMBELAAN TERHADAP DAKWAH
Ada tiga ideologi yang berkembang di dunia ini yakni: Islam, Komunisme-Sosialisme, Kapitalisme-Liberalisme. Ketiganya mencerminkan pertarungan antara kebenaran (al-haqq) dan kebatilan (al-bâthil). Ketiganya tegak di atas asas atau akidah yang bertentangan satu sama lain.
Islam tegak di atas asas akidah Islam. Akidah Islam tegak di atas keimanan tentang keberadaan Allah SWT dan keesaan-Nya. Dialah Al-Khâliq Yang Azali. Akidah Islam menuntut pemeluknya untuk mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya Zat Yang wajib disembah dan diibadahi.
Kapitalisme-Liberalisme tegak di atas asas akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sekularisme mengakui keberadaan Tuhan (agama), namun menolak peran Tuhan (agama) dalam mengatur kehidupan. Dengan kata lain, agama diakui sebatas sebagai sebuah keyakinan, ritualitas dan moralitas belaka. Pandangan demikian juga berlaku untuk Islam. Dalam arti, oleh kaum sekular, Islam pun diperlakukan sama dengan agama-agama lain; sebatas sebagai sebuah keyakinan, ritualitas dan moralitas belaka; bukan sebagai sebuah ideologi yang memiliki seperangkat aturan kehidupan.
Adapun Komunisme-Sosialisme tegak di atas asas materialisme (ateisme). Dalam praktiknya, Komunisme bukan hanya tidak mengakui keberadaan Tuhan (agama), tetapi bahkan anti Tuhan (anti agama). Dalam pandangan orang-orang komunis, agama adalah “candu” atau “minuman keras” spiritual yang tidak layak mempengaruhi dan memperdaya manusia. Jelas, pandangan materialisme (ateisme) ini menyalahi fitrah dan akal manusia. Sungguh aneh ateisme (ketidakyakinan pada keberadaan Tuhan) bisa ada dalam benak orang-orang yang berakal. Padahal binatang, tumbuhan dan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi pun hakikatnya “bertuhan”. Semuanya bahkan bertasbih, sujud dan tunduk pada ketentuan Allah SWT, sang Pencipta. Allah SWT berfirman:
﴿أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ﴾
Tidakkah kamu tahu bahwa kepada Allahlah bersujud siapa saja yang ada di langit dan di bumi; juga matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang melata dan sebagian besar manusia? (TQS al-Hajj [22]: 18).

Allah SWT juga berfirman:
﴿تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا﴾
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji Dia, tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun (TQS al-Isra’ [17]: 42-44).

Jika semua makhluk mengakui keberadaan Allah SWT bahkan bertasbih, tunduk dan sujud kepada-Nya, tentu aneh jika ada manusia tidak meyakini keberadaan-Nya (ateis). Apalagi secara fitrah setiap manusia memiliki gharizah tadayyun atau naluri beragama (religiusitas). Keberadaan naluri ini dibuktikan dengan kecenderungan setiap manusia untuk menyucikan dan mensakralkan sesuatu atau zat yang dianggap memiliki kemampuan dan kekuatan luar biasa yang mempengaruhi dan mengendalikan dirinya.
Apalagi setiap manusia dikaruniai akal untuk berpikir. Siapa pun yang menggunakan akalnya pasti akan sampai pada kesimpulan bahwa seluruh jagad raya ini, termasuk manusia, dengan segala kesempurnaannya mustahil tidak ada Penciptanya. Pencipta semua yang ada tidak lain adalah Allah SWT. Zat Yang Wajib al-Wujud (Azali).
Alhasil, mengingkari keberadaan Tuhan (ateisme) yang dipraktikan oleh orang-orang komunis bertentangan dengan fitrah dan akal manusia. Allah SWT menilai sikap ateis sebagai kesesatan bahkan lebih sesat dari binatang ternak. Allah SWT berfirman:
﴿...لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ﴾
Mereka mempunyai kalbu (akal), tetapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata, tetapi tidak digunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (TQS al-A’raf [7]: 179).

Ateisme jelas merupakan produk dari sikap manusia yang tidak mau menggunakan akal, mata, dan telinga untuk memahami, menyaksikan dan mendengar ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah SWT. Sikap ini sangat buruk. Sikap ini sesat bahkan lebih sesat dari binatang ternak. Karena itulah, sebagaimana buruk dan sesatnya ideologi Kapitalisme-Liberalisme, sebagaimana dipraktikkan saat ini (termasuk di negeri ini), ideologi Komunisme yang dibangun di atas ateisme juga buruk dan menyesatkan. Kedua ideologi ini sama-sama berbahaya bagi kehidupan manusia. Yang satu menolak peran Tuhan (agama) dalam mengatur kehidupan. Satunya lagi menolak keberadaan Tuhan (agama) sama sekali, yang bahkan melahirkan kebencian terhadap agama dan para pemeluknya, termasuk Islam dan kaum Muslim, yang ingin menjalani hidup dan mengatur kehidupan berdasarkan ketentuan Islam. Pembantaian atas ratusan ribu (bahkan ada yang mengatakan lebih dari satu juta) kaum Muslim pada masa lalu oleh Uni Soviet yang berideologi Komunisme hanyalah sebagian bukti.

Iman Mengharuskan Kepatuhan
Pengakuan akan keberadaan Allah SWT saja tidaklah cukup jika tidak disertai dengan kepatuhan dan ketundukan pada semua hukum dan ketentuan-Nya. Dengan kata lain, keimanan kepada Allah SWT mengharuskan keterikatan dengan seluruh syariah-Nya, dan sebaliknya, meninggalkan semua aturan selain aturan-Nya.
﴿أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ﴾
Apakah mereka mencari agama selain agama Allah? Padahal kepada Allahlah semua makhluk yang di langit dan di bumi menyerahkan diri, baik dengan suka ataupun terpaksa, dan hanya kepada Dia, mereka dikembalikan (TQS Ali Imran [3]: 83).

Tegasnya, keimanan mengharuskan kepatuhan dan keterikatan pada semua yang dibawa oleh Rasul saw. dan menjauhi semua yang beliau larang (QS al-Hasyr [59]: 7). Keimanan mengharuskan untuk hanya berhukum dengan hukum-hukum Allah SWT dalam menyelesaikan segala persoalan di masyarakat (QS an-Nisa [4]: 65).

Iman Mengharuskan Pembelaan Terhadap Dakwah
Selain mengharuskan ketaatan total kepada Allah SWT dengan selalu terikat dengan syariah-Nya, keimanan pun meniscayakan dakwah, yakni mengajak umat manusia seluruhnya untuk masuk Islam, tanpa paksaan. Allah SWT memerintahkan kita untuk berdakwah, yakni mengajak manusia ke jalan-Nya (QS an-Nahl [16]: 125). Allah SWT memerintahkan kita untuk menyeru manusia agar masuk Islam (QS asy-Syura [42]: 15). Allah SWT pun menyifati dakwah (mengajak manusia kepada Allah) sebagai sebaik-baik ucapan (QS Fushshilat [41]: 33).
Dakwah tentu memerlukan dukungan dan pembelaan dari semua yang mengaku mengimani Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebaliknya, orang-orang yang beriman tidak selayaknya menelantarkan dakwah. Mereka wjib berdakwah dan membela dakwah. Tak pantas mereka menghalangi dakwah, apalagi memusuhi dakwah dan para pengembannya. Sikap menghalangi dakwah, yakni menghalangi manusia dari jalan Allah SWT, adalah sifat dan karakter setan (QS az-Zukhruf [43]: 37); perilaku orang-orang musyrik dan kafir (QS al-A’raf [7]: 45; Hud [11]: ); sikap orang yang angkuh lagi sombong (QS al-Anfal [8]: 47); serta sikap orang-orang yang lebih mencintai dunia daripada akhirat dan berada dalam kesesatan yang jauh (QS Ibrahim [14]: 3). Sikap menghalangi dakwah dan memusuhi para pengembannya juga merupakan sikap orang-orang munafik (QS an-Nisa’ [4]: 61).
Dengan demikian, jelas sekali keimanan kepada allah SWT dan Rasul-Nya juga mengharuskan untuk menentang apa saja yang menghalangi dan memberangus dakwah Islam, termasuk di antaranya menentang Perppu no. 2/2017 tentang Ormas. Pasalnya, Perppu itu telah nyata-nyata dijadikan alat kekuasaan untuk memberangus dakwah Islam yang menghendaki penerapan syariah Islam secara kâffah. Perppu ini sekaligus dijadikan alat untuk mengkriminalisasi para pengemban dakwah dan ormas-ormas Islam yang nyata-nyata menghendaki penerapan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh apek kehidupan.
Alhasil, orang beriman selayaknya menolak Perppu tersebut. Mereka harus menentang apa saja yang dapat menghalangi dakwah Islam dan menghalangi penerapan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []


Hikmah:


وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ (106) أَفَأَمِنُوا أَنْ تَأْتِيَهُمْ غَاشِيَةٌ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ أَوْ تَأْتِيَهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (107) قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (108)
Sebagian besar dari mereka tidak mengimani Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan-Nya. Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka atau kedatangan Hari Kiamat kepada mereka secara mendadak, sedangkan mereka tidak menyadari hal itu? Katakanlah, "Inilah jalan (agama)-ku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah. Aku tiada termasuk orang-orang musyrik.” (TQS Yusuf [12]: 106-108).



Buletin KAFFAH semua edisi dilihat DISINI

Mewujudkan Makna Lâ ilâha illâlLâh

Buletin Kaffah no. 06, 15 September 2017/24 Dzulhijjah 1438 H

Mewujudkan Makna Lâ ilâha illâlLâh

Kecenderungan untuk mensucikan, mensakralkan atau menyembah sesuatu merupakan fitrah setiap manusia. Itulah naluri beragama (gharîzah at-tadayyun) yang ada pada setiap manusia. Karena itu manusia akan merasa tenang ketika melaksanakan ibadah karena tuntutan gharizah tadayyun (naluri beragama)-nya telah terpenuhi.
Akal dapat membuktikan bahwa Al-Khâliq itu wâjib al-wujûd (keberadaannya mutlak), bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir) serta memiliki kesempurnaan mutlak. Berdasarkan itu ibadah hanya boleh dan layak dilakukan kepada Al-Khâliq semata dan tidak boleh dilakukan kepada selain Diri-Nya. Jika manusia telah meyakini keberadaan Al-Khâliq maka keyakinan itu mengharuskan dia untuk hanya menyembah dan mengabdi kepada Allah SWT, tidak kepada selain Diri-Nya.
Jadi fitrah dan akal manusia mengharuskan ibadah hanya kepada sang Pencipta (Al-Khâliq) semata. Karena itu Islam datang untuk menjelaskan kepada manusia bahwa ibadah dan pengabdian tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Zat yang ‘azali (tidak berawal dan tidak berakhir) dan wâjib al-wujûd (keberadaannya mutlak). Dialah Allah SWT. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
﴿قُلْ مَن رَّبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ﴿٨٦﴾ سَيَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ ﴿٨٧﴾ قُلْ مَن بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٨٨﴾ سَيَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلْ فَأَنَّىٰ تُسْحَرُونَ ﴿٨٩﴾ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِالْحَقِّ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ ﴿٩٠﴾
Katakanlah, "Siapakah Tuhan Pencipta lagit langit yang tujuh dan Pemilik 'Arsy yang agung?" Mereka akan menjawab, "Kepunyaan Allah." Katakanlah, "Lalu apakah kalian tidak bertakwa?" Katakanlah, "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedangkan Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya jika kalian tahu?" Mereka akan menjawab, "Kepunyaan Allah." Katakanlah, "(Kalau demikian), lalu dari jalan manakah kalian ditipu?" Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka dan sungguh mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. (TQS al-Mu’minun [23]: 86-90).




Dengan demikian, pengakuan manusia bahwa Allah SWT adalah Al-Khâliq, Yang menciptakan segala sesuatu dan memiliki kekuasaan atas segala sesuatu, mengharuskan diri mereka untuk hanya menyembah dan mengabdi kepada Allah SWT semata. Dalam banyak ayat al-Quran Allah SWT telah menegaskan bahwa Dialah satu-satunya Zat Yang layak disembah. Allah SWT, misalnya, berfirman:
﴿وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ﴾
Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (TQS al-Baqarah [2]: 163).
﴿اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ﴾
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Mahahidup dan terus-menerus mengurus makhluk-Nya (TQS Ali Imran [3]: 2).
﴿وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ﴾
Sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan (TQS Shad [38]: 65).

Ayat-ayat al-Quran juga menunjukkan secara qath’i penafian atas berbilangnya ilâh (tuhan). Karena itu ayat-ayat al-Quran sekaligus menafikan secara pasti berbilangnya al-ma’bûd (zat yang disembah). Ayat-ayat al-Quran juga datang membatasi ibadah hanya kepada Tuhan Yang satu. Dialah Allah SWT. Dialah Al-Ma’bûd. Dialah Zat Yang wâjib al-wujûd.
Kata ilâh baik secara bahasa maupun secara syar’i hanya memiliki satu makna, yaitu al-ma’bûd (zat yang disembah). Jadi, makna lâ ilâha tidak lain adalah lâ ma’bûda (tidak ada zat yang berhak disembah/diibadahi). Karena itu makna syahadat Lâ ilâha illâlLâh bukan hanya kesaksian atas keesaan Al-Khâliq saja, tetapi sekaligus kesaksian bahwa tidak ada yang berhak untuk disembah dan diibadahi kecuali Allah SWT Yang wâjib al-wujûd. Hal ini berkonsekuensi pada upaya mengesakan Allah SWT semata dalam wujud ibadah kepada Allah SWT dalam segala bentuknya sekaligus menolak segala bentuk ibadah kepada selain Diri-Nya.
Ibadah dan pengabdian kepada Allah SWT mencakup segala jenis ibadah dan pengabdian. Karena itu syahadat Lâ ilâha illâlLâh mencakup ibadah mahdhah (ritual) sesuai dengan apa yang telah Allah SWT syariatkan dan tidak menyekutukan Dia dengan apapun dalam ibadah mahdhah itu. Syahadat Lâ ilâha illâlLâh mencakup penisbatan segala sifat kesempurnaan secara mutlak dan nama-nama agung kepada Allah SWT. Syahadat Lâ ilâha illâlLâh mencakup pengesaan dalam hal permohonan dan doa hanya kepada Allah SWT saja. Syahadat Lâ ilâha illâlLâh juga mencakup ibadah dan pengabdian kepada Allah SWT dengan selalu terikat hanya pada syariah-Nya. Tidak boleh seorang Muslim terikat dengan aturan apapun yang bertentangan dengan syariah-Nya. Syariah Allah SWT sendiri mengatur segala aspek kehidupan manusia baik dalam konteks individu, masyarakat maupun negara.
Allah SWT telah melarang ibadah dan pengabdian kepada selain Diri-Nya. Dengan kata lain Allah SWT melarang tunduk dan patuh pada aturan atau hukum yang bertentangan dengan syariah-Nya. Ketundukan dan kepatuhan pada selain syariah-Nya dipandang sebagai bentuk ibadah dan pengabdian kepada selain Diri-Nya. Allah SWT berfirman:
﴿اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ...
Mereka (kaum Yahudi dan Nasrani) telah menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah (TQS at-Taubah [9]: 31).




Saat mendengar ayat di atas, Adi bin Hatim berkata, “Wahai Rasulullah, mereka tidaklah menyembah para pendeta dan rahib mereka.” Namun, beliau menyanggah pernyataan itu:
« بَلَى، إِنَّهُمْ حَرَّمُوْا عَلَيْهِمْ الْحَلاَلَ، وَأَحَلُّوْا لَهُمْ الْحَرَامَ، فَاتَّبِعُوْهُمْ، فَذَلِكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَاهُمْ »
Benar (mereka menyembah para pendeta dan para rahib mereka). Sungguh para pendeta dan para rahib itu telah mengharamkan yang halal atas mereka dan menghalalkan yang haram untuk mereka. Lalu mereka mengikuti para pendeta dan para rahib mereka itu. Itulah ibadah (pengabdian) mereka kepada para pendeta dan para rahib mereka (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Mewujudkan semua bentuk ibadah dan pengabdian itulah yang menjadi seruan dakwah dan misi yang diemban oleh Rasul saw., yang dilanjutkan oleh para sahabat dan generasi kaum Muslim. Rasul saw. menyeru manusia untuk beriman dan masuk Islam. Berikutnya beliau menyeru mereka yang beriman dan masuk Islam untuk menjalankan ibadah serta menjalankan semua hukum Islam dan meninggalkan semua hukum selain hukum Islam. Rasul saw. pun menyeru mereka yang tidak mau beriman dan masuk Islam untuk tunduk pada hukum dan kekuasaan Islam. Yunus bin Bukair menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Najran. Di antara isinya:

«... أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلَايَةِ اللّهِ مِنْ وِلَايَةِ الْعِبَادِ ... »
Amma ba’du, aku menyeru kalian untuk beribadah (menghambakan diri) kepada Allah dengan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian untuk tunduk pada kekuasaan Allah dengan meninggalkan ketundukan pada kekuasaan hamba (manusia)… (Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553, Maktabah al-Ma’arif, Beirut).

Rasul saw. pun langsung menerapkan hukum-hukum Islam di wilayah-wilayah yang bergabung atau wilayah-wilayah yang dibebaskan tanpa menunda-nunda pelaksanaannya seperti di wilayah Bahrain, Yaman dan seluruh Jazirah Arab hingga Tabuk yang berbatasan dengan Syam. Hal yang sama dilakukan oleh para sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin seperti di wilayah Syam, Persia, Mesir dan lainnya. Hukum-hukum Islam itu diterapkan kepada siapapun yang ada di bawah kekuasaan Rasul saw., yakni di bawah kekuasaan pemerintahan Islam.
Alhasil, syahadat Lâ ilaha illâlLâh mencakup pengesaan Allah SWT dalam wujud ibadah dan pengabdian dengan segala bentuknya. Makna syahadat itulah yang mesti diwujudkan oleh setiap Muslim dalam semua aspek kehidupan mereka. Mewujudkan makna syahadat Lâ ilaha illâlLâh sebagaimana diamalkan oleh Rasul saw., para sahabat dan generasi kaum Muslim terdahulu itu menjadi tugas dan tanggung jawab kita. Karena itu memperjuangkan tegaknya syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan—sebagai konsekuensi dari syahadat Lâ ilaha illâlLâh—adalah hal yang niscaya. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Hikmah:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Sungguh Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah saja dan jauhilah thâghût itu." Lalu di antara mereka ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang-orang yang telah pasti kesesatan atas dirinya. Karena itu berjalanlah kalian di atas bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para rasul) itu (TQS an-Nahl [16]: 36).

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Hak membuat hukum itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak tahu (TQS Yusuf [12]: 40).


Buletin KAFFAH semua edisi dilihat DISINI

MEWUJUDKAN TAUHID YANG HAKIKI

Buletin Kaffah no. 003, 25 Agustus 2017/3 Dzulhijjah 1438 H


MEWUJUDKAN TAUHID YANG HAKIKI

Hakikat keimanan kepada Allah SWT adalah menegakkan prinsip-prinsip tauhid dan meniadakan segala bentuk kesyirikan. Secara bahasa, tauhid berarti mengesakan, sementara syirik berarti menyekutukan. Tauhid bermakna mengesakan Allah SWT atau menisbatkan sifat-sifat yang memang milik Allah SWT hanya kepada Diri-Nya. Sebaliknya, syirik bermakna mempersekutukan Allah SWT dengan makhluk-Nya atau menisbatkan sifat-sifat Allah SWT kepada selain Diri-Nya.
Menurut para ulama, keesaan Allah SWT dianggap tidak lengkap kecuali diekspresikan dalam aspek-aspek tauhid antara lain: Tawhîd ar-Rubûbiyah, Tawhîd al-Asmâ wa ash-Shifât dan Tawhîd al-Ulûhiyah. Ketiga-tiganya harus terwujud agar sikap mentauhidkan Allah SWT benar-benar terpenuhi.

Tawhîd ar-Rubûbiyah
Ar-Rubûbiyah berasal dari kata Rabb yang bisa berarti pemilik, raja, pengatur. Tawhîd ar-Rubûbiyah bermakna: keyakinan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Sang Pencipta sekaligus Pengatur langit, bumi dan seisinya. Dialah Yang memberi kekuatan dan rezeki kepada semua yang ada di semesta alam ini. Tidak ada satu pun kejadian yang terjadi tanpa izin dari-Nya. Tawhîd ar-Rubûbiyah ini banyak dijelaskan di dalam Al-Quran. Di antaranya Allah SWT berfirman:
﴿اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ﴾
Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu (TQS az-Zumar [39]: 62).
﴿مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ﴾
Tidak ada satu pun musibah yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah (TQS at-Taghabun [64]:11).

Al-Quran menjelaskan bahwa kaum kafir juga meyakini Allah SWT sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta:
﴿وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ للهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ﴾
Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala pujian milik Allah.” Namun, kebanyakan mereka tidak tahu (TQS Luqman [31]: 25).

Banyak nas yang menunjukkan bahwa penduduk Makkah pada masa Nabi saw. mempercayai kekuasaan rubûbiyah Allah sebagai Pencipta sekaligus mempercayai sifat-sifat-Nya. Namun demikian, mereka tetap disebut orang musyrik. Allah SWT berfirman:
﴿وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ﴾
Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah.” Lalu mengapa mereka (dapat) dipalingkan dari jalan yang benar? (TQS al-‘Ankabut [29]: 61).

Tawhîd al-Ulûhiyyah
Penduduk Makkah memang meyakini aspek rubûbiyah Allah SWT. Namun, mereka mengingkari aspek ulûhiyah-Nya. Inilah yang membuat mereka menjadi kafir sekaligus musyrik. Hal itu terlihat tatkala Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Qûlû lâ ilâha illâ AlLâh (Katakanlah: tiada tuhan selain Allah)”, fa qâlû: ilâh[an] wâhid[an]? (Mereka berkata: hanya satu tuhan?)” Orang-orang kafir itu menjawab:
﴿أَجَعَلَ اْلآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ﴾
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu? Sungguh ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan (TQS Shad [38]: 5).

Dalam hal ini al-Muqrizî menyatakan, “Tidak ada keraguan lagi, tauhid rubûbiyyah tidak diingkari oleh orang-orang musyrik. Bahkan mereka menetapkan bahwa Dialah satu-satunya Pencipta dan Pengatur alam semesta. Mereka hanya mengingkari tauhid ulûhiyyah (keyakinan bahwa Allahlah satu-satunya yang layak dan wajib disembah) (Al-Muqrizî, Tajrîd al-Tawhîd al-Mufîd, hal. 4-9, cet. 1373 H).

Tawhîd al-Asmâ’ wa ash-Shifât
Adapun Tawhîd al-Asmâ’ wa ash-Shifât merupakan keyakinan bahwa Allah SWT memiliki nama dan sifat, yang dengan nama dan sifat-Nya itu, Dia atau Rasul-Nya melukiskan keadaan Diri-Nya. Contohnya Allah SWT berfirman:
﴿اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ﴾
Dialah Allah. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai nama-nama yang baik (TQS Thaha [20]: 8).

Masih banyak nas lain yang menjelaskan asmâ dan shifât Allah SWT. Nama dan sifat Allah SWT tidaklah serupa dengan sifat dan nama makhluk-Nya. Allah SWT telah memberikan rambu-rambu dalam memahami sifat dan nama-Nya:
﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ﴾
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”(TQS as-Syura [42]: 11).

Perwujudan Tawhîd al-Ulûhiyyah
Manifestasi Tawhîd al-Ulûhiyyah di antaranya adalah beribadah kepada Allah SWT sesuai dengan tatacara yang telah Dia syariatkan. Ibadah dalam Islam bermakna penyerahan diri kepada Allah SWT yang diwujudkan melalui kepatuhan pada hukum-hukum-Nya. Salah satu aspek penting dalam Tawhîd al-Ulûhiyyah ini adalah aspek al-Hâkimiyyah, yakni mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya Pembuat hukum yang wajib ditaati dan diikuti.
Allah SWT telah meniadakan hak untuk membuat hukum dari selain Diri-Nya dan menegaskan bahwa hak membuat hukum hanya milik-Nya semata. Allah SWT telah berfirman:
﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ للهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ﴾
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik (TQS al-An‘am [6]: 57).

Allah SWT juga menyatakan siapa saja yang tidak menghukumi manusia dengan syariah-Nya—atas dasar keyakinan bahwa syariah-Nya tidak wajib diterapkan—adalah kafir. Allah SWT berfirman:
﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ﴾
Siapa saja yang tidak memberikan keputusan menurut hukum yang telah Allah turunkan, mereka adalah orang-orang kafir (TQS al-Maidah [5]: 44).

Berpegang teguh atau lebih mengutamakan hukum-hukum buatan manusia daripada syariah-Nya merupakan kesyirikan dalam tauhid al-‘ibâdah. Allah SWT menggambarkan bentuk kesyirikan itu pada Bani Israel dalam firman-Nya:
] اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ...[
Mereka menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah (QS at-Taubah [9]: 31).

Saat mendengar ayat di atas, Adi bin Hatim berkata, “Wahai Rasulullah, mereka tidaklah menyembah para pendeta dan rahib mereka.” Namun, beliau menyanggah pernyataan itu dengan sabda:
« بَلَى، إِنَّهُمْ حَرَّمُوْا عَلَيْهِمْ الْحَلاَلَ، وَأَحَلُّوْا لَهُمْ الْحَرَامَ، فَاتَّبِعُوْهُمْ، فَذَلِكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَاهُمْ »
Benar (mereka menyembah para pendeta dan para rahib mereka). Sungguh para pendeta dan para rahib itu telah mengharamkan yang halal atas mereka dan menghalalkan yang haram untuk mereka. Lalu mereka mengikuti para pendeta dan para rahib mereka itu. Itulah ibadah (penyembahan) mereka kepada para pendeta dan para rahib mereka (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Atas dasar itu, menyakini syariah Allah SWT sebagai satu-satunya hukum yang berhak mengatur kehidupan manusia merupakan refleksi dari tauhid ulûhiyyah. Seorang Muslim harus menyakini bahwa hanya syariah Allah (syariah-Nya) satu-satunya hukum terbaik yang mampu memecahkan seluruh problem umat manusia. Ia tidak boleh menyakini bahwa ada aturan atau hukum lain yang mampu menyaingi atau setingkat levelnya dengan syariah-Nya.
Seorang Mukmin wajib menjunjung tinggi al-Quran dan as-Sunnah. Ia hanya akan berhukum dengan aturan-aturan Allah SWT. Berhukum hanya pada al-Quran dan as-Sunnah adalah kewajiban mendasar seorang Muslim sekaligus refleksi keimanannya kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
﴿أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا﴾
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku diri mereka telah mengimani apa yang telah diturunkan kepada kamu dan apa yang telah diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhukum kepada thâghût. Padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thâghût itu. Setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 60).

Alah SWT bahkan menafikan keimanan dari siapapun yang tidak berhukum pada syariah-Nya (syariah Islam):
﴿فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾
Demi Tuhanmu. Mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya (TQS an-Nisâ’ [4]: 65).

Tatkala menafsirkan ayat ini, Abdurrahman as-Sa’di menyatakan, “Allah SWT telah bersumpah atas Nama-Nya dengan menyatakan bahwa mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan Rasulullah saw. sebagai hakim yang memutuskan perkara-perkara yang mereka perselisihkan…Namun, mereka tidak cukup hanya ber-tahkîm kepada Rasul saw. saja. Mereka juga harus menghilangkan keraguan, perasaan sempit dan kesamaran di dalam hati mereka tatkala ber-tahkîm kepada Rasulullah saw….Siapa saja yang menolak untuk berhukum kepada Rasulullah saw. dan tidak mau terikat dengan apa yang telah beliau tetapkan adalah kafir.” (As-Sa‘dî, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân, hlm. 90).

Alhasil, meyakini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Pembuat hukum dan bahwa syariah-Nya adalah satu-satunya hukum yang berhak untuk ditaati dan diikuti—dengan menerapkan syariah-Nya itu di tengah kehidupan—merupakan perwujudan nyata dari Tawhîd al-Ulûhiyyah.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []


Hikmah:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).


Buletin KAFFAH semua edisi dilihat DISINI


Wiremesh murah hubungi Afandi - 081233336118. - Ada juga besi beton murah.

Jasa Pembuatan Pagar, Kanopi (+Renovasi)
WA ke 081233336118